Buletin Al-Jazeera, edisi 11/th.2/2010
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram.” (Al-Ma’idah:2)
Tahun Baru Islam Versus Tahun Baru Lain
Muharram adalah bulan pertama dalam kalender hijri. Biasa disebut dengan ”awwalu’s-sanah as-syar‘iyah” awal tahun yang disyari‘atkan. Rasulullah s.a.w menamakannya syahru’l-lâh al-Muharram, yaitu bulan Allah, sesuai bunyi hadits Muslim dari Abu Hurairah, Shahihul Jami’:116. Ada dua hikmah mengapa disebut dengan syahru’l-lâh; pertama, untuk menunjukkan keutamaan dan kemuliaan bulan Muharram. Kedua, untuk menunjukkan otoritas Allah dalam mengharamkan bulan Muharram. Pengharaman bulan ini adalah mutlak hak Allah, tidak seorang pun selain-Nya berhak mengubah keharaman dan kemuliaan bulan Muharam. Sebab nama-nama bulan Islam, sudah ada sejak penciptaan langit dan bumi (at-Tawbah:36). Sementara nama-nama bulan dalam Kalender Julian (Julius Caesar) baru muncul sebelum Nabi Isa lahir, kira-kira 45 tahun sebelum Masehi. Kalender Gregorian yang banyak dipakai dewasa ini baru disahkan oleh Paus Gregorius XIII pada 24 Februari 1582, atas saran dari Dr. Aloysius Lilius dari Napoli, Italia. Kedua kalender ini penuh dengan hawa paganism, syirik dan klenik, karena lahir dari rahim gereja.
Islam punya kalender sendiri. Khalifah Umar (13-23 H) sebagai deklatornya menjadikan Muharram sebagai awal tahun kalender Islam dengan ivent semangat hijrah Nabi s.a.w. Pelanjutnya Khalifah Utsman (23-35 H) menjadikan Muharram sebagai ketentuan waktu pembayaran zakat mal untuk memudahkan perhitungan khaul dalam setahun. Imam As-Samarqandi (w.150 H/767 M) seorang faqih Hanafiyah membawakan riwayat tentang penetapan Muharram sebagai bulan zakat, saat itu khalifah Utsman mengatakan, ”Bulan Muharram adalah bulan ditunaikannya zakat kalian, karena bulan ini ada di awal tahun, dan aku memandangnya sebagai waktu terbaik untuk mengambil zakat kalian.” (Abu Laits As-Samarqandi, Al-Muhadzzab, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi. Juz I:204).
Kedua Khulafa’ur-Rasyidin ini tampaknya memiliki harapan besar dengan menjadikan bulan Muharram sebagai munthalaq tajdid atau starting kebangkitan. Khalifah Umar dengan pendekatan semangat jihad dan tauhidnya, sementara Khalifah Utsman dengan pendekatan kesejahteraan ekonomi. Saat itu tahun baru Islam atau sistem penanggalan Islam tidak ditetapkan dengan mengambil nama 'Tahun Muhammad' atau 'Tahun Umar', sebagaimana yang biasa berkembang dalam tradisi Barat. Kalender Islam justru ingin menghilangkan unsur pemujaan seseorang atau penonjolan personifikasi, seperti pada sistem penanggalan Tahun Masehi yang diambil dari gelar Nabi Isa, Al-Masih (Arab) atau Messiah (Ibrani) yang sarat dengan teologi animisme, kultus dan nafas syirik serta keyakinan lokal yang berseberangan dengan semangat tauhid.
Peringatan Tahun Baru 1 Januari atas dasar Kalender Gregorian (Masehi) adalah piur gereja. Beberapa negara Eropa dewasa ini, ada juga yang berbeda waktu dalam merayakan tahun baru. Gereja Orthodok sendiri sebenarnya lebih menyukai pemakaian kalender Julian (Julius Caesar) daripada kalender Gregorian, dari tahun 45 S.M hingga hari ini.
Mengapa 1 Januari dipilih sebagai hari tahun baru? Di antara tujuannya supaya rangkaian perayaan hari Natal, 25 Desember, lebih panjang dan tampak lebih semarak. Meskipun aliran lain dalam gereja, ada juga yang menetapkan selain tanggal 1 Januari, di antaranya ada yang merayakan tahun barunya pada tanggal 1 Maret, 25 Maret dan 25 Desember. Tahun baru kaum Bahá'í, dimulai pada 21 Maret, namanya "Naw Ruz". Naw Ruz sendiri diadopsi oleh sekte sesat Bahá'í dari hari besar Yahudi selain ‘Asyura (Rosh Hasanah) di bulan Muharram. Naw Rûz biasa diadakan pada akhir tahun.
Bangsa Jepang memilih Tahun Samura sebagai tahun baru, yang mengandung unsur pemujaan terhadap Amaterasu O Mi Kami (dewa matahari) yang permberlakuannya diproklamasikan untuk mengabadikan kaisar pertama yang dianggap keturunan Dewa Matahari, yakni Jimmu Tenno yang naik tahta pada tanggal 11 pebruari 660 M, sehingga dijadikan awal perhitungan Tahun Samura. Orang-orang Jawa kuno menghitung tahun barunya dari penanggalan Tahun Saka yang berasal dari Raja Aji Saka. Menurut dongeng atau mitos Jawa, Aji Saka diyakini sebagai raja keturunan dewa yang datang dari India untuk menetap di Tanah Jawa.
Jangan Nodai Kesucian Tahun Baru
Inilah yang dihindari oleh khalifah ‘Umar, mengapa tahun baru Islam lebih mengutamakan nilai ibadat dan jihad dalam penentuan tahun barunya pada 1 muharram, walaupun ada banyak saran yang berkembang di parlemen kekhalifahan Umar, saat itu. Khalifah Umar tidak menginginkan adanya hisab nujumi, yaitu hitungan tanggal astrologi alias mujarrabat yang menjadi rahasia penetapan tanggal atau bulan tahun baru syamsiyah/masehi. Sehingga timbul keyakinan lokal dan setumpuk harapan yang terkadang melangkahi qadha’ dan qadar Allah s.w.t, selain tindakan tabdzir yang menghiasi semarak tahun baru masehi yang umumnya dihiasi dengan pesta hura-hura, tiup terompet, ritual lilin, dan yang tak ketinggalan nafsu perut dan bawah perut.
Tahun Baru Islam harus dijauhkan dari budaya tasyabbuh warisan ahlul kitab dan tradisi jahiliyah dari kaum musyrikin. Karena itu muharram sendiri artinya suci, yang terhormat atau yang dilarang. Maksudnya bulan Muharram harus suci atau dihormati, tidak boleh dinodai dengan segala bentuk kegiatan yang mengundang murka Allah atau melecehkan derajat kemanusiaan. Budaya tasyabbuh sebenarnya ingin mengarahkan kaum muslimin untuk lebih mencintai produk luar Islam dan merasa minder dengan tradisi Islam yang bersendikan nilai tauhid dan jiwa ittiba‘. Sekecil apapun bentuknya, tasyabbuh pada akhirnya akan menyeret ummat Islam pada kehinaan dan jiwa kerdil, Nabi s.a.w menyebutnya dengan ”ja‘ala’z-dzillah wa’s-shighar.” (HR.Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu ‘Umar).
Beda penanggalan Islam dengan kalender lain adalah pada awal hari barunya. Hari baru pada penanggalan Masehi dimulai pukul 00.00 waktu setempat atau jam 24.00. Sedangkan hari baru pada penanggalan Hijriyah dimulai sejak tenggelamnya matahari di tempat tersebut, biasa disebut dengan waktu ghurub yang ditandai dengan adzan maghrib. Tarikh kalender Islam ini dinamakan tarikh Hijriyah (bahasa latin,Anno Higerae), untuk memperingati hijrah kubra Rasulullah s.a.w bersama para sahabat ridhwânu’l-lâhi ‘alaihim ajma’în dari Mekah ke Madinah, yang diperkirakan terjadi pada tahun 622 M. Menurut tarikh Kalender Gregorian hal ini terjadi pada hari tanggal 19 Juli sedangkan menurut tarikh Kalender Julian terjadi pada tanggal 15 Juli 622 M.
Puasa Muharram
Dalam kaitan dengan ibadah puasa, muharram adalah bulan di mana Rasulullah s.a.w menetapkan atas wajibnya puasa Asyura pada tanggal 10 Muharram setiap tahun, sebelum turun ayat puasa (al-Baqarah:183-187) pada tahun kedua Hijrah. Jadi puasa ‘Asyura yang kemudian berubah menjadi puasa sunnah adalah cikal bakal puasa bulan suci Ramadhan. Nabi s.a.w bahkan menambahnya lagi dengan puasa Tâsû‘â yakni tanggal 9 Muharram, sehingga puasa Muharram lebih utama dikerjakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Dalam hadits Abu Hurairah dari jalan Humaid bin ’Abdirrahman al-Himyari, Rasulullah s.a.w bahkan menegaskan bahwa sebaik-baik puasa sunnah setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan haram, maksudnya bulan Muharram (HR. Muslim, Kitabus Shiam bab: Fadhlu Shaumil Muharram).
Orang Yahudi mempuasakan bulan Muharram, terutama tanggal sepuluhnya, terkait dengan hari pembebasan Bani Israel dari rezim Fir’aun yang tenggelam bersama bala tentaranya di laut merah. Puasa ‘Asyura Yahudi mereka warisi dari Nabi Musa, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas r.a. Ketika Rasulullah s.a.w tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa. Rasulullah saw. bertanya, "Hari apa ini? Mengapa kalian berpuasa?" Mereka menjawab, "Ini hari yang agung, hari ketika Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya serta menenggelamkan Fir'aun. Maka Musa berpuasa sebagai tanda syukur, maka kami pun berpuasa." Rasulullah saw. bersabda, "Kami orang Islam lebih berhak dan lebih utama untuk menghormati Nabi Musa daripada kalian."
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Puasalah pada hari 'asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad). Keutamaannya antara lain dapat menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu. (HR. Muslim).
Ibnu Abbas r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Puasalah pada hari 'asyura dan berbedalah dengan orang Yahudi. Puasalah sehari sebelum 'asyura dan sehari sesudahnya." (HR Ahmad). Keutamaannya antara lain dapat menghapuskan dosa (kecil) setahun yang lalu. (HR. Muslim).
Tahun Baru Mengokohkan Persatuan & Ketahanan Mental
Dipandang dari ilmu strategi, hijrah merupakan taktik. Strategi yang hendak dicapai adalah mengembangkan iman dan mempertahankan kehormatan kaum muslimin. Hijrah adalah momentum perjalanan menuju Daulah Islamiyah dengan membentuk tatanan masyarakat Islam terlebih dahulu. Diawali dengan eratnya jalinan solidaritas sesama Muslim dalam ikatan ukhuwah Islamiyah antara kaum Muhajirin Mekkah yang petani dan kaum Anshar Madinah yang pedagang, selama kurang lebih 30 tahun perjalanan khilafah-nubuwwah. Bisa dimengerti, jika umat Islam hari ini tidak disegani musuh-musuhnya, menjadi umat yang tertindas, serta menjadi bahan permainan umat lain, antara lain akibat jalinan ukhuwah Islamiyah yang tidak seerat kaum Mujahirin dan Anshar (rujuk tafsir surah at-Taubah:100).
Dari situlah mengapa konsep dan hikmah hijrah perlu dikembangkan oleh kaum muslimin dengan temuan dan terobosan yang perspektus. Bagi Islam, waktu selamanya baru. Tidak perlu menunggu pergantian tahun. Bangun tidur langsung sholat fajar, baru. Terbit matahari dengan sholat isyraq/syuruq 2 rakaat adalah baru. Sholat Dhuha menjelang kerja adalah baru, sholat thuhur/syukril-wudhu’ menjelang tidur adalah baru. Para Hukama’ berpesan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari (al-Hasyr:18).
Dalam tafsir surat an-Nahl:79, indikator hidup lebih baik itu paling tidak memiliki lima kriteria utama, yaitu: mencari rezqi yang halal, hidup yang qana’ah, berpegang pada taufiq dan tuntunan wahyu, dekat dengan amalan ahli syurga dan jauh dari amalan ahli neraka, mengerjakan amal-amal qurbah (taqarrub), amal-amal taat (hablun minallah) dan amal-amal jibillah (hablun mina’n-nas).
H. Syamsul Bahri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar