“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merubah (janjinya).” Surah Al-Ahdzab:23
PENGANTAR
Islam yang masuk ke Indonesia umumnya sudah mengalami percampuran dengan ajaran-ajaran lokal yang sudah duluan berkembang, khususnya campuran ajaran animisme dan dinamisme Hindu-Budha. Karena itu, tampilan Islam di Indonesia variasinya beraneka-macam. Berbagai upaya sudah dicoba oleh para agamawan untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam sesuai standard Qur’an-Sunnah seperti yang dipahami oleh generasi pertama ummat ini. Salah satunya dengan mendirikan organisasi kemasyarakatan sebagai perhimpunan tempat mereka berjuang. Contohnya Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) di Jogjakarta. Al Irsyad tahun 1913 oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943) di Jakarta serta Persatuan Islam pada tahun 1923 di Bandung oleh K.H Zamzam dan Prof. Mahmud Yunus (1899-1982).
Dalam perkembangan selanjutnya, ormas-ormas besar pengusung pembaruan dan pemurnian ajaran Islam ini, lalu mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, majlis da‘wah, tempat ibadat, rumah sakit, amal-amal usaha dan lain-lain; dalam upaya mengentaskan persoalan ummat dari kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan keterpurukan. Ide tajdid ormas besar ini ikut memberikan sumbangan yang tidak sedikit bagi lembaga-lembaga pendidikan dan da‘wah yang bermunculan di belakang hari di tanah-air, termasuk Pesantren Abu Hurairah di Sapeken.
Akibatnya, kepercayaan pada hal-hal di luar logika manusia yang kental tahayul bid‘ah dan khurafatnya, berkembang pesat di kepulauan Sapeken dan sangat dekat dengan kepercayaan lokal masyarakat saat itu. Contohnya antara lain; tradisi/ritual buang sial, cari jimat keberuntungan, sedekah bumi dengan cara mempersembahkan tumbal atau sesajen kepada makhluk halus/jin yang dianggap sebagai penunggu atau penguasa tempat kramat, cegah bencana dengan toal-bala’, rajah penjaga rumah, kuburan dikramatkan, menjaring ibu hamil saat gerhana, memukul-mukul pohon/ kentongan pada saat gerhana bulan, percaya akan adanya kekuatan ghaib pada keris-keris tertentu dan melakukan tapa-brata yang disertai puasa selama berhari-hari untuk mendapatkan kesaktian melalui praktek syirik yang tidak dibenarkan oleh agama.
PERIODE CIKAL BAKAL (1968-1974).
Di tengah kondisi masyarakat yang klenik itulah, Pesantren Abu Hurairah berdiri pada tahun 1976 dengan tokoh utamanya Ustadz Ad-Dailami, putera seorang tokoh kharismatik K.H. Abu Hurairah (w.1974). Cikal bakal pesantren ini bermula dari diutusnya Ad-Dailami kecil untuk belajar di Pesantren Persatuan Islam pada 1968-1973 di Bangil-Jawa Timur pimpinan Ustadz Abdul Qadir Hassan (1914-1984), putera Ulama ternama Ustadz A.Hassan (1887-1956). Ulama besar pemilik kitab Soal-Jawab dan Kata Berjawab ini banyak mewarnai pemikiran intelektual dan langkah juang Ustadz Ad-Dailami.
Selesai di Bangil, beliau melanjutkan studinya beberapa tahun di Universitas Islam Indonesia (UII) di Jogyakarta, selain mengikuti kursus-kursus da‘wah di Jakarta yang dilakukan oleh Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia di bawah bimbingan Dr.Mohammad Natsir (1908-1993), mantan Perdana Menteri RI yang dipusatkan di Masjid Munawwarah Tanah Abang. Dari perjalanan menimba ilmu di tanah Jawa dan berguru dengan tokoh-tokoh pembaharu negeri ini membawa Ustadz Ad-Dailami untuk mendirikan Pesantren Abu Hurairah tahun 1976. Perjuangan mendirikan pesantren ini beliau tempuh setelah mendirikan Yayasan Abu Hurairah pada tahun 1973, setahun sebelumnya Ayahandanya K.H. Abu Hurairah wafat pada tahun 1974. Inilah periode awal yang menjadi cikal bakal lahirnya Pesantren Abu Hurairah yang hari ini berusia 35 tahun.
PERIODE PERKEMBANGAN (1976-1990).
Pesantren Abu Hurairah berdiri dengan semangat pembaharuan dan pemurnian ajaran Islam. Bagi Ad-Dailami, Keluarga, Pesantren dan Masjid adalah benteng pertahanan ummat. Dalam tema-tema awal, benteng pertahanan ummat ini kerapkali beliau pesankan dalam ceramah-ceramahnya di depan santri maupun jam‘ah pengajian. Konsep ini –tutur Ad-Dailami- beliau peroleh dari gurunya Bapak Mohammad Natsir yang menjadikan pesantren, masjid dan kampus sebagai lembaga pertahanan ummat. Konsep Islamisasi di tanah Jawa juga terkonsentrasi pada aspek ini yang bertumpu pada empat perpaduan; istana, masjid, alun-alun dan pasar. Empat perpaduan ini dalam catatan para ahli sejarah adalah ciri khas kerajaan Islam tempo doeloe. Dari sisi ini, bisa terbaca betapa kokohnya fundamental konsep Pesantren Abu Hurairah. Fundamental konsep ini diejawantahkan dalam ikrar santri pondok yang mereka ucapkan dalam bentuk janji setia pada setiap upacara pekanan santri. Di sana para santri membulatkan tekad untuk menjadi mujtahid dan mujahid da‘wah. Tekad untuk menjadi mujahid dan mujtahid ini sampai terbawa-bawa menjadi nama putera pertama dan kedua beliau.
Ustadz Ad-Dailami dikenal sebagai seorang kutu buku, tekun meringkas kitab, rajin mengoleksi bahan bacaan dan sumber-sumber informasi. Beliau memiliki perpustakaan yang tertata rapi, mulai dari kitab klasik hingga bacaan modern kekinian. Dengan bekal bahan bacaan ini, Ad-Dailami mengajar para santri, mengisi khutbah jum’at dan mengisi majlis-majlis pengajian dari semua kalangan. Hasilnya, pesantren tumbuh pesat. Pesantren ini diminati dan menjadi pilihan utama untuk belajar. Santrinya bahkan ada yang berasal dari luar pulau Sapeken, seperti dari Pulau Jawa dan kawasan Indonesia Timur. Alumninya diterima di beberapa perguruan tinggi Islam, bahkan diterima di manca Negara, seperti Sudan, Pakistan dan Malaysia. Pesantren ini bahkan sejak tahun 1991 mengirim da‘i-da‘i ke pedalaman nusantara, sebagian di antaranya dari hasil kerjasama da‘wah dengan lembaga Islam. Pesantren bahkan sempat punya radio NSP singkatan dari Nada Suara Persis dengan program da‘wah yang begitu padat; dari program ceramah, konsultasi, kesehatan dan olah raga, dll. Tahun 1997 pernah menerbitkan Buletin An-Nisa’ dalam beberapa edisi. Setiap tahun, pesantren mengadakan haflah kubra mulai dari program seni dan olah-raga, rihlah tarbawiyah, hingga pelepasan santri kelas akhir.
Kini pesantren punya gedung sendiri berlantai dua, ada asrama santriwan dan santriwati, ada masjid megah sebagai laboratorium mujahid dan mujtahid da‘wah; tempat para santri dan satriwati sholat berjama‘ah, qiamul lail dan melakukan latihan pidato dan berdiskusi dalam acara rutin muhadharah dan munadzarah.
Tahun 1978/1979 untuk pertama kalinya Pesantren Abu Hurairah ikut ujian Negara di Kangean tingkat MTs yang diikuti oleh santri angkatan 1-2 dan 3 di atas. Tahun 1987/1988, Kanwil Departemen Agama Kabupaten Sumenep mengijinkan Pesantren untuk menyelenggarakan ujian Negara sendiri.
PERIODE EKSPANSI (1990-KINI).
Periode ini ditandai oleh bergabungnya Pesantren ini ke Jam‘iyah Persatuan Islam yang bermarkas di Bandung. Nama Pesantren Abu Hurairah yang sudah berjalan kurang lebih ¼ abad berubah nama menjadi Pesantren Persatuan Islam Abu Hurairah. Ini nama kompromi, karena pada ghalibnya tradisi penamaan di Pesantren Persatuan Islam memakai penomoran sebagai urut-tertib organisasi sesuai usia, wilayah dan jumlah. Tapi teori ini, mengecualikan Pesantren Persis Sapeken. Kebijakan ini untuk menghormati jasa-jasa perjuangan dan pengorbanan Allahyarham KH.Abu Hurairah. Keputusan untuk bergabung ini, pada awalnya hanya berupa lontaran basa-basi dalam suatu pertemuan silaturahim dengan Pimpinan Pusat Persatuan Islam di masa kepemimpinan almarhum KH.A.Latif Mukhtar, MA (1983-1997) yang dijawab secara responsif oleh Pimpinan Pesantren Abu Hurairah, saat itu juga. Bagi pimpinan pesantren, penggabungan ini adalah untuk memperluas jaringan kerjasama dan akses juang. Namun bagi masyarakat luas, fusi atau peleburan ini punya kost sosial yang tidak sedikit. Sebab kemandirian pesantren yang selama ini menjadi icont perjuangan beliau, setengah tergadai. Dalam bahasa pondok, al-I‘timadu ala’n-nafsi yakni independensi taktik dan strategi perjuangan tidak bisa lagi menampung muatan yang lebih longgar secara nyaman, layaknya rumah sendiri. Nilai-nilai universalisme pesantren menjadi berbeda dari sebelumnya.
Ust. Drs. H. Syamsul Bahri, MH
Ma‘ulfy Tsanaullah, S.Sos.I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar