Buletin Al-Jazeera, edisi 17/Th.3/2011
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ﴿رواه النسائي واحمد, تحقيق الألباني :صحيح ، التعليق الرغيب
( 2 / 69 )، المشكاة ( 1962 ) ، صحيح الجامع ( 55 )﴾
"Telah datang bulan Ramadhan. Bulan penuh berkah, di mana Allah mewajibkan atas kalian mempuasakannya. Di bulan Ramadhan, dibuka pintu-pintu langit. Ditutup pintu-pintu neraka. Dibelenggu segala syetan. Di bulan ini, ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tercegah dari kebaikannya, maka sungguh ia tak akan kebagian apa-apa." (HR. Nasa'i,kitab shiam:2080 dan Ahmad dari Abu Hurairah dari jalur Abu Qilabah, shahih. Shahih Targhib (2/69), Al-Misykat (1962), Shahihul Jami’ (55)).
Marhaban Ya Ramadhan
Tiada terasa, ramadhan sudah berada di tengah kita. Marhaban ya ramadhan, dan berbahagialah orang yang kembali dipertemukan dengan bulan ramadhan. Bersyukur atas kesempatan bisa memperbaiki diri, keluarga dan lingkungan sekitar. Apalagi jika kita tahu, bahwa Ramadhan adalah bulan hadiah bagi ummat Islam, yang memberikan kesempatan emas untuk bertaubat dan meraih kesempurnaan diri melalui taqwa. Nabi s.a.w bersabda:
موطأ مالك - (ج 2 / ص 441(
و حَدَّثَنِي زِيَاد عَنْ مَالِك أَنَّهُ سَمِعَ مَنْ يَثِقُ بِهِ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ مَا شَاءَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَنْ لَا يَبْلُغُوا مِنْ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِي بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِي طُولِ الْعُمْرِ فَأَعْطَاهُ اللَّهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ و حَدَّثَنِي زِيَاد عَنْ مَالِك أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ كَانَ يَقُولُ مَنْ شَهِدَ الْعِشَاءَ مِنْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظِّهِ مِنْهَا
“Kepadaku ditampakkan umur-umur ummat terdahulu. Begitu panjangnya umur mereka, dan begitu singkat umur ummatku. Amal ummatku pun tidak sepadan dengan amal ummat sebelumku. Maka, Allah memberikan lailatul Qadar pada malam-malam ramadhan yang satu malamnya lebih baik dari 1000 bulan.” (HR.Imam Malik, al-Muntaqa, II/231)
Boleh menyampaikan ucapan tahni’ah Ramadhan, seperti ucapan Marhaban Ya Ramadhan atau selamat menunaikan ibadah puasa atau perkataan yang sejenis dengan itu. Termasuk boleh hukumnya mengadakan acara atau kegiatan menyambut bulan suci Ramadhan. Para Ahlul Ilmi membolehkannya dengan alasan ”min bâbi’l-‘âdât” (termasuk kategori adat) dan sunnatan hasanatan. Demikian fatwa terkuat yang disampaikan oleh para ahlul ilmu seperti Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma‘ad Fi Khayri hadyi’l-‘Ibad, Juz III:385.), Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, Juz III:394, Ibnu Ibnu Rajab dalam Lathâ’if al-Ma‘ârif,cet. Dar Ibn Katsir, hal:275.), Syeikh Fauzan Ali Fauzan dalam Al-Muntaqa berdasarkan telaah mereka terhadap ucapan marhaban, sebagaimana disebutkan oleh Imam As-Subki dalam ad-Dinul Khalish, bab as-Shiam.
Do‘a Melihat Hilal
Sebagai luapan kegembiraaan bertemu dengan ramadhan, Nabi s.a.w mengajarkan ummatnya agar tidak lupa membaca do‘a untuk mendapatkan empat hal; rasa aman, emosi iman, suasana damai dan ruh Islam, sesaat setelah melihat hilal atau bulan baru dengan sabdanya:
— عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْهِلاَلَ قَالَ اللَّهُمَّ أَهْلِلْهُ عَلَيْنَا بِالْيُمْنِ وَاْلإِيمَانِ وَالسَّلاَمَةِ وَاْلإِسْلامِِ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ, هِلاَلُ رُشْدٍ وَخَيْرٍ﴿ رواه الترمذي, كتاب الدعوات عن رسول الله, باب ما يقول عند رؤية الهلال (2/256), والحاكم (4/285), واحمد (1/162) وابو يعلى )1/191), وعنه ابن السني فى "عمل اليوم والليلة (635), والدارمي (2/4) وصححه الألباني فى صحيح الجامع (ح 4726, وسلسلة الصحيحة (ح 1816)
Dari Thalhah bin ‘Ubaidillah, bahwa Nabi s.a.w apabila melihat hilal (bulan baru), beliau berdo‘a: “Ya Allah terangi kami lewat hilal itu dengan rasa aman, rasa iman dan damai, serta Islam. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah, bulan yang membawa petunjuk dan kebaikan.” (HR. Turmudzi, kitab ad-da‘awat ‘an Rasulillah, bab: Mâ yaquwlu ‘inda ru‘yati’l-hilâl (2/256), Imam Hakim (4/285), Imam Ahmad (1/162), Abu Ya‘la (1/191), Imam Ibnu Sunni (635), Imam Darimi (2/4). Dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahih Jami‘us Shaghir,Juz II:861 no.:4726, dan di Silsilah As-Shahihah, Juz IV:430 no.:1816)
Dengan do‘a ini, diharapkan setiap muslim merasa tenang dan nyaman dalam beribadah, aman dalam bekerja untuk mendapatkan harta wajib zakat ketika memasuki bulan suci Ramadhan. Imam Hakim berkata, Nabi s.a.w menengadahkan wajahnya ke arah hilal ramadhan sesaat sebelum membaca do‘a ini.
Dalam riwayat lain diberitakan, Nabi s.a.w pernah membaca do‘a ini dalam tiga hitungan, dan berharap betul akan hadirnya kehidupan baru lewat hilal Ramadhan. Mengapa? Imam Hakim berkata: “setiap pergantian (hilal) atau bulan baru, Allah Tabaraka wa Ta‘ala menuliskan (kebijakan) dan menetapkan (qadha’) yang baru atas semua makhluknya. Dan salah satu bulan pilihan Allah s.w.t adalah bulan suci ramadhan, selain bulan-bulan lain.” (sumber: Imam Al-Manawi, Faidhul Qadir. Juz V:172)
Persiapan Fisik dan Mental
Ibadah membutuhkan kekuatan fisik dan mental, karena amal sendiri adalah qaulan wa fi‘lan, dhahiran wa bathinan meliputi jiwa dan raga atau lahir dan batin. Karena itu isti‘dâdu al-jasadi: persiapan fisik, yaitu dengan menjaga kekuatan dan ketahanan fisik, baik sehat dalam arti fisik (tidak sakit) atau sehat dalam arti mental (tidak gila), menjadi keniscayaan. Sebab orang sakit dan orang gila jelas tidak mampu menjalankan perintah puasa secara sempurna. Mereka diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak berpuasa, dengan cara qadha’ dan atau bayar fidyah, sesuai firman Allah s.w.t dalam al-Baqarah:184,185,186.
Persiapan lain adalah Isti‘dâdu an-nafsi: persiapan mental, yaitu memastikan apakah kita sudah siap lahir dan batin, baik aspek niat dan tujuan, motivasi dan spirit untuk berpuasa secara imanan wahtisaban dalam upaya meraih puncak malam lailatul qadar.
Ketika Ramadhan datang dipastikan kita sudah memahami dan jika perlu melakukan pendalaman ilmu, khususnya mengenai fiqhus shiam dan fiqhul qiam ramadhan. Dengan ilmu, amal jadi meningkat, baik bobot kualitasnya maupun bobot kuantitasnya. Sekurang-kurangnya penguasaan ilmu tentang syarat dan rukun puasa, ilmu tentang pembatal puasa, ilmu tentang waktu-waktu strategis, ilmu cara menggapai laylat al-qadar serta meraih puncak taqwa.
Seorang Arab Badui datang untuk menyatakan keislamannya, lalu bertanya: ”wahai Nabi, kabari aku, apa yang Allah wajibkan atasku dari puasa.” Jawab Nabi s.a.w: ”Puasa Ramadhan, kecuali jika kamu tambah dengan puasa sunnah.” Nabi s.a.w selanjutnya bersabda: ”Beruntunglah orang itu, jika ia benar atau masuk sorgalah ia nanti, jika ia benar.” (HR. Bukhari-Muslim).
Merencanakan program ramadhan dengan komitmen-komitmen, tidak taqlid atau tidak ikut arus, apa kata orang, meliputi: program penyegaran motivasi (ta’qidul ’azm), yaitu bertekad menjadikan shaum, baik aspek batin puasa (Qs.19:26) maupun aspek lahir puasa (Qs.2:183), sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki diri (tadzkiyah & riyadhah) lewat rangkaian amaliah Ramadhan.
Tumbuhkan nafsu memburu pahala (targhib) dengan merasa faqir, dan miskin pahala serta kerinduan yang tinggi untuk liqa’ (kontak ubudiyah) sebagai kunci imanan wahtisaban. Ramadhan adalah kesempatan untuk memburu sekian banyak amal shalih, sesuai kemampuan yang ada, sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah s.w.t: “Dan untuk yang demikian itu hendaknya semua orang berlomba-lomba.” (Qs.al-Muthaffifin,83:26)
Berkata Imam Ibnu Katsir terhadap ayat ini: ”Maksudnya, yaitu dalam suasana demikian (berlimpahnya pahala) maka hendaknya kalian saling kompetitif, saling membanggakan, saling memperbanyak dan saling mendahului seperti layaknya perlombaan. Perhatikanlah firman Allah yang lain, ”untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja.” (as-Shaffat, 37:61)
Memahami Taqwa Sebagai Fiqh Target
Kunci taqwa berproses dan berjenjang, tapi proses awalnya bisa kita mulai dari taubat. Nabi saw menggugah keinginan untuk taubat ini dalam banyak hadits, di antaranya hadits Mu‘adz bin Jabal r.a, Nabi s.a.w bersabda: “Allah buka pada seluruh makhluknya pada malam nishfu Sya‘ban, di mana Allah akan mengampuni dosa seluruh makhluknya, kecuali terhadap orang musyrik dan orang yang kebangetan.” (HR. Imam Ibnu Majah (1/422), Imam Ahmad (6642), Imam Thabarani, Imam Baihaqi, Imam Ibnu Hibban (1980). Hadits Hasan Shahih, dihasankan oleh Syeikh Albani dalam beberapa kitab; Silsilah as-Shahihah (4/86-87 no.:1563), Al-Misykat (1026), Shahih Targhib wa Tarhib (2767), Shahihul Jami‘ (1/373 no.:1819) dan (2/785 no.:4286)
Karena Ramadhan bulan maghfirah, maka tentu saja sangat terpuji jika kita memasukinya dengan kesucian; suci jiwa-suci harta. Suci jiwa dengan istighfar dan taubat, di mana shalat sebagai penyucinya. Sementara suci harta dengan bayar zakat, infaq dan sedekah. Jangan bawa jiwa atau harta haram ketika masuk bulan suci Ramadhan. Karena Allah sendiri Maha Suci, Malaikat pun hanya akan membawa benda atau sesuatu yang suci ke atas langit. Nabi s.a.w ke atas langit melalui Isra’-Mi’raj, juga melalui penyucian lewat pembedahan dada beliau oleh malaikat. Orang ke tanah-suci untuk haji atau umrah, juga perlu membersihkan jiwa dan harta. Demikianlah hukum ibadah, bagaikan susu dan khamer yang tidak boleh dicampur, minyak dan air tidak akan bersatu, hukum halal dan haram mustahil dipadukan.
Yang terakhir adalah, pentingnya memahami taqwa sebagai fiqh target. Jabaran taqwa sangat banyak dan bervariasi. Ringkasnya, taqwa adalah akumulasi dari nilai-nilai universal seluruh kebaikan dan kebajikan, yang membahagiakan dan menyelamatkan. Abu Dzar bertanya meminta pesan khusus dari Nabi s.a.w: “Wahai Rasul, beri aku wasiat darimu,” Jawab Nabi: “Aku wasiatkan kepadamu, bertaqwalah kepada Allah, karena ketaqwaan itu pokok segala urusan.” (HR. Thabrani, al-Kabir, Lih. Suyuthi, al-Jami’us-Shaghir,III:2793, Hadits Hasan).
Ali bin Abu Thalib radhiya’l-lahu ’anh mendefinisikan taqwa dengan begitu padat, “Takut kepada yang Maha Mulia (al-khawfu minal jalil), beramal sesuai (Qur’an) yang diturunkan (al-’amalu bit tanzil), ridha dengan yang sedikit (ar-ridha bil qalil), dan bersiap untuk hari pemberangkatan (al-isti‘dad li yaumir rahil).”
Drs. H. Syamsul Bahri, MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar