Buletin Al-Jazeera, edisi 14/th.3/2011
فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang-orang yang saleh.” al-Qalam:50
AURA ORANG MU’MIN.
Menjadi orang shaleh adalah cita-cita mulia setiap mu’min, makanya ada doa tentang anak shaleh, rabbi hablii minas-shaalihiin; Ya Allah anugerahkanlah aku anak yang shaleh (as-Shaffat:100). Tidak sedikit orang tua bahkan menamakan anaknya dengan Shaleh, Muhammad Shaleh atau Mat Shaleh saja. Demikian halnya para orang tua, manakala anaknya akan berumah-tangga, mereka selalu berpesan: “Nak, carilah wanita shalehah.” Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr Nabi s.a.w bersabda bahwa dunia ini adalah hiasan dan sebaik-baik hiasan adalah wanita shalehah (ad-dun’yaa mataa’ wa khairu mataa’id-dun’yaa al-mar’atus-shalihah, Shahih Muslim no.:3634).
Ketika ‘Abdullah bin Jarrah RA menyolati teman-temannya yang terkena penyakit tha’un (wabah epidemic) di Amawas-Suriah, dalam khutbahnya sang Gubernur ini berkata: “itu adalah kematian orang-orang shaleh; inna haadzaa min mawti as-shaalihiin,” (Musnad Imam Ahmad no.:1697). Dari sini, Imam Nawawi menamakan kitabnya dengan Riyadhus-Shalihin, artinya taman orang-orang shaleh. Hari ini, kata shaleh bahkan jadi nama pesantren, nama-nama toko atau warung, merek obat, pakaian taqwa, pokoknya jadi merek barang terkenal dan sejenisnya. Doeloe ada nabi bernama Nabi Shaleh ‘alayhissalam yang Allah utus kepada Tsamud di wilayah antara Hijaz dan Suriah.
PENGERTIAN.
Dalam Kamus-Kamus Standar disebutkan; shaleh itu adalah gabungan dari berbagai sifat dan watak, seperti jujur dan benar, amanah dan tanggungjawab, keteguhan dan keistiqamahan, kebaikan dan kebajikan, kesetiaan dan kepahlawanan, perjuangan dan pengorbanan dan sebagainya. Shaleh adalah prilaku mulia dalam ibadah, berumah-tangga, bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, keshalehan berarti auranya orang mu’min. Dan setiap manusia yang beriman tentu ingin memanifestasikan aura keshalehannya itu dalam bentuk ibadat dan mu’amalah, yaitu penghambaan secara totalitas di hadapan Allah s.w.t dan khidmat dalam bentuk pelayanan kemanusiaan terhadap sesama dan lingkungan sekitar. Menjaga syadatain, menunaikan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji di tanah suci adalah wujud nyata keshalehan itu yang kemudian menjadi lengkap dengan rukun iman dan rukun ihsan. Semua ini adalah konsekuensi keberimanan, sederhananya iman yang terpatri disetiap hati manusia menuntut bukti dan karya nyata, sehingga kalau ada orang yang mengaku beriman tapi tidak pernah melakukan ritual-ritual ibadah seperti di atas, maka perlu diragukan keimanannya.
MANIFESTASI.
Keshalehan diraih bukan hanya sekedar lewat doa apalagi impian, tidak sekedar diucapkan melainkan harus diperjuangkan. Memang keshalehan itu, ada yang Allah hibahkan (rabbi hablii) tapi keshalehan itu lebih banyak terbentuk dari proses panjang pendidikan dan pengajaran, seperti dalam hadits; maa min mawluddin yuwladu ‘alal-fithrah, fa’abawaahu yuhawwidaanihi wa yunasshiraanihi wa yumajisaanihi ….(Shahih Muslim no.:8849 dari Abu Hurairah). Kalimat Fa’abawaahu (maka orang tuanyalah yang …..) menyiratkan bahwa keshalehan itu berurat dan berakar pada sekian banyak faktor. Dewasa ini, keshalehan jadi barang mahal seiring dengan rusaknya zaman, bobroknya moral dan tingginya angka kejahatan dan kriminalitas. Jalan untuk memperbaiki masyarakat dalam semua jenjang tiada lain adalah keshalehan itu sendiri.
DUA KESHALEHAN.
Di tengah masyarakat berkembang dua fenomena; ada orang shaleh, namun keshalehannya itu lebih dititik-beratkan untuk kepentingan dirinya dengan menanam amal sebanyak-banyaknya untuk investasi di akhirat nanti. Orang shaleh kategori ini lebih memperkuat keimanannya dalam bentuk hubungan pribadinya saja kepada Allah. Kaum-kaum tarekat, shufi, ahli-ahli dzikir disebut-sebut memiliki tingkat keshalehan individu ini. Sayang, keshalehannya itu hanya dalam bentuk hubungan vertical (ke atas saja) belum merambah pada hubungan horizontal dalam bentuk peduli lingkungan dan alam sekitar. Ini yang disebut keshalehan pribadi.
Pertanyaannya apakah keshalehan individu sudah cukup untuk menghantarkan seorang hamba pada level mu’min sejati? Dalam hemat penulis keshalehan individu/pribadi ini belum cukup untuk menjadikan diri kita menjadi mukmin sejati, menjadi mu’minuuna haqqaa. Seorang yang rajin sholat ke masjid, berpuasa, bayar zakat bahkan sudah melaksanakan ibadah haji sehingga ia disebut ‘ahli ibadah’ tapi dia luput memperhatikan keluarganya, tetangganya dan juga masyarakatnya sangat diragukan atau dipertanyakan kesempurnaan imannya. Bukankah banyak penjelasan dari hadist Nabi seperti “Tidak sempurna keimanan seseorang sehingga ia memuliakan tamunya” Dalam hadist lain dijelaskan “…..sehingga ia menghormati tetangganya”. (Shahih Bukhari no.:5672,5785,5787,6110); Shahih Muslim no.: 47)
Jadi jelaslah, bahwa ada nilai keshalehan lain yang harus diraih oleh setiap mukmin untuk melengkapi kesempurnaan keberimanannya. Kesholehan lain itu biasa disebut dengan ‘keshalehan sosial’. Keshalehan sosial adalah orang yang hatinya senantiasa terusik dan terpanggil untuk membantu saudaranya yang kesusahan, perasaannnya tidak tenang jika melihat saudaranya dan tetangganya yang miskin belum makan, orang yang hatinya marah dan berusaha untuk mencegah ketika melihat kedzaliman dan kemungkaran ada di lingkungannya. Ringkasnya keshalehan sosial adalah orang yang punya ‘kepekaan sosial’; selalu membantu, peduli dengan lingkungan sekitarnya, dan tidak mementingkan ego pribadinya.
Dalam konteks bermasyarakat dan bernegara dewasa ini kepekaan sosial (keshalehan sosial) sudah menjadi barang langka, banyak di antara kita yang mengaku beriman terjebak dalam beribadah hanya untuk kepentingan dan ‘kepuasan’ iman kita semata, padahal dimensi lain seperti hubungan horizontal (hubungan antara sesama) juga merupakan sesuatu yang amat urgen (penting) yang tidak boleh kita nafikan. Bukankah ibadah mahdhah (sholat, zakat, puasa dan haji) selalu berimplikasi pada hubungan vertikal dan hubungan horizontal (Hablun minallah wa Hablun minannas). Oleh karena itu, penting bagi kita yang mengaku beriman untuk senantiasa meraih dua keshalehan antara keshalehan individu dan keshalehan sosial pada saat bersamaan tanpa ada yang di ‘anak tirikan’ antara keduanya, jika kita ingin disebut sebagai mukmin sejati.
PERAN-SERTA.
Pentingnya dua dimensi ini diraih oleh setiap muknin melihat fenomena kemasyarakatan kita sekarang ini yang sudah jauh meninggalkan nilai-nilai ketimuran kita, seperti perzinahan yang terorganisir rapi, minum-minuman keras yang sudah terang-terangan, perjudian dan sederet lagi penyakit masyarakat lainnya. Sementara pemerintah dan aparat penegak hukum seolah membiarkan dan pura-pura tidak tahu alias masa bodoh, bahkan justru ada oknum aparat sendiri yang mem-back-up bahkan melakukan perbuatan keji dan amoral tersebut. Jika demikian kondisinya wajar kalau akhirnya masyarakat sudah apriori tidak percaya lagi kepada pemerintah dan aparat penegak hukum.
Hal inilah yang menimbulkan reaksi dari elemen masyarakat untuk membentuk forum seperti FPI, FBR di Jakarta dan lain-lain. Dan untuk kasus lokal seperti di Sapeken dibentuk BAM (Barisan Anti Maksiat), secara pribadi penulis sepakat dibentuknya BAM karena itu merupakan panggilan dan tuntutan iman (seperti yang dijelaskan diatas). Akan tetapi, sebagai sebuah masukan hendaklah forum yang demikian dibicarakan dan disepakati oleh seluruh stake holder; melibatkan seluruh unsure seperti tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, dan aparat terkait, sehingga memilki legitimasi hukum yang merepresentasikan kepentingan masyarakat banyak, dan tidak terkesan milik kelompok tertentu, sehingga lahirlah ‘nilai kebersamaan’ di antara semua komponen masyarakat.
Lahirnya tatanan masyarakat yang tenteram, damai, adil dan makmur adalah tujuan dari bernegara dan diberlakukannya hukum sebagai panglima. Begitulah sejatinya penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara karena ada nilai kebersamaan yang merekatkan kita antara satu dengan yang lain tanpa harus melihat latar belakang, asal-usul, kelompok dan organisasi. Ada Undang-undang dan perundang-undangan yang menjadi payung hukum, ada penegak dan pelaksana hukum sebagaimana ada istilah hukum, ada hakim, ada hukuman ada mahkamah. Ini semua harus duduk supaya senantiasa seiring-sejalan dalam penegakan nilai-nilai dua keshalehan di atas.
Sebagai seorang yang beriman sesungguhnya imanlah yang mempertautkan, tidak hanya sebatas bangsa dan Negara, atau tidak sekedar atas nama ‘kemanusiaan universal’. Karena ikatan iman itulah maka kita bersaudara dengan manusia beriman lainnya yang ada di belahan dunia manapun. Karena itu hendaklah kita bangga dengan iman yang terpatri dengan kokoh di dalam kalbu, senantiasa kita jaga dan rawat; sebab iman adalah spirit (ruh) yang menggerakkan kita; bihil iimaanu nahya, wabihil iimaanu namuutu, wabihil iimaanu nub’atsu insyaa Allaah. Maka tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa mukmin sejati adalah seorang mukmin yang mampu memadukan (meraih) dua keshalehan; individu dan sosial. Sebab pribadi mukmin seperti ini yang bisa mempelopori lahirnya tatanan masyarakat yang tenteram, damai, adil dan makmur (baldatun thayyibatun warabbun ghafur).
Muzakkir, SH.I.,MH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar