Dermaga Baru Sapeken dalam tahap finishing |
al-jazeeraik2s.blogspot.com Sebuah
sumber menyebutkan, secara dialektikal Sapeken berasal dari kata (1) si Pakkan,
artinya karam atau tenggelam. Dinisbatkan pada kapal layar lintas
Makassar-Lombok yang dilaporkan pernah karam dan terdampar di Pulau Sapeken. (2) Sepekan, ini versi Jawa-Madura, artinya
seminggu. Maksudnya jarak tempuh perjalanan seminggu berlayar. Dialektikal yang
pertama, tampaknya lebih dekat dengan nuansa kebahasaan suku Samè Bajo. (Yazid Rahman Passandre. 2010 hal.12).
Sapeken
sebagai sebuah teritori (perairan) boleh
jadi, sudah lama ada. Sapeken sebagai pulau berpenghuni, sampai saat ini,
naskah lontara-nya belum terlacak. Kajian mendalam soal riset etnografi
(kebudayaan) maupun historiografi (penulisan sejarah) terkait pulau Sapeken, belum
ditemui. Data arkeologi (purbakala) seperti rumah kuno, tempat ibadat terlama,
pertanahan, kuburan tua, pemilik perahu paling awal, dan seterusnya; juga belum
muncul.
Hemat
penulis, perlu ada pihak yang memfasilitasi; (1) karena sejarah adalah ilmu terbuka,
siapapun boleh memasukinya; asal syarat-rukunnya terpenuhi (2) Ilmu ancient
history (asal-usul sejarah) diperlukan untuk penentuan hari jadi Sapeken. Aneh
jika sampai hari ini, Sapeken belum punya hari jadi (milad, HUT, harlah). Aneh,
jika warga Sapeken, tidak tahu kapan pulaunya lahir dan bernama Sapeken (3)
Umur suatu komunitas menunjukkan jati dirinya, hari jadi simbol identitas
sekaligus kekuatan sejarah yang merupakan kebanggaan tersendiri bagi warganya.
Ini
tantangan bagi pejabat daerah, tokoh lokal, peneliti dan mahasiswa kepulauan
untuk menggali nilai sejarah daerahnya sendiri. Lucu, jika Sapeken berbenah
menjadi kebupaten kepulauan, sejarah lokalnya belum tuntas secara
institusional.
SAPEKEN
PULAU TERBUKA.
(1)
Terbuka karena penduduknya yang multi-etnisitas (campuran suku), seperti Samè
Bajo, Mandar, Bugis, Makassar, Arab, China, dan Kangean, yang dari dulu bisa
hidup berdampingan dengan damai dan harmoni. (2) Terbuka karena watak para pelaut umumnya memang
komunikatif dan dialogis, atmosfer pemikirannya bak samudera nan luas (3)
Sapeken sentral jalur kepulauan, tempat transit dan singgah perahu motor,
sehingga perputaran ekonomi dan siklus bisnis, jauh lebih cepat (4) Sapeken
ibukota kepulauan yang membawahi beberapa desa disekitarnya. Hal ini banyak
mengundang tanda tanya, kenapa Sapeken masih dipimpin oleh Kalebun (Kades),
kenapa bukan Lurah. (5) Pemerintahan
Sapeken dulunya secara administratif- onderdistrik dengan Wedono Arjasa (doeloe
bernama Ngaliyao), yaitu ketika Songennep (nama kuno Sumenep) diperintah oleh
Adipati pertamanya Arya Wiraraja (1269-1316 M). Sebelum akhirnya ditahun 1883
M, Belanda melalui Nederland Indische Regening mengganti sistem keadipatian
Songennep dengan sistem bupati, camat dan kepala desa. Otomatis tata-pemerintahan
Sapeken ikut menyesuaikan diri.
SAPEKEN
ITU PULAU BUKAN DESA.
Dari
awal sejarahnya, Sapeken terlahir dengan nama pulau (Indonesia: pulo, nusa.
Inggris: island, archipelago), bukan desa atau pedesaan. Desa menurut UU no.5
tahun 1979 dan UU no. 22 tahun 1999 adalah: "wilayah berpenduduk terbatas,
punya organisasi terendah, dan wilayah kekuasaan terbatas." Sementara tingkat kepadatan penduduk Sapeken
sudah mencapai 187,06 jiwa/km². Desa menurut UU Desa no.6/2014, jika
penduduknya, lebih dari 6.000 jiwa untuk Jawa dan Madura. Sementara penduduk
Sapeken dari data Bappeda Sumenep 2003, ada 37.765 jiwa (artinya lebih dari 6
kali lipat).Desa itu, bercorak agraris sedang pulau bercorak maritim.
Desa
menunjuk pada komunitas warga yang tinggal di luar kota. Terus terang; desa itu
udik, sedang pulau adalah bahari. Pulau punya nilai jual pariwisata dan hasil
kekayaan alam. Pulau punya kekayaan laut, sedang desa mengandalkan lahan
pertanian. (sumber: www.id.wikipedia.org/wiki/desa). Desa itu jika lokasi hunian penduduk
dibanding luas tanahnya, masih tidak seimbang. Maksudnya, lebih luas tanah
daripada jumlah penduduk. Sementara Sapeken, kepadatan jumlah penduduknya bukan
main. Namun namanya masih tetap desa. Ini lucu.
Jika
Sapeken diatur dengan administrasi desa, maka kekayaannya seperti diatur dalam
UU nomor: 4/2007 hanya berupa (a) tanah kas desa (b) pasar desa (c) pasar hewan
(d) tambatan perahu (e) bangunan desa (f) pelelangan ikan (g) lain-lain;
seperti hal kontrak, hibah, sumbangan dan hasil kerja sama. (g) Adapun soal
kekayaan alam dimana Kecamatan Sapeken memilikinya- dikuasai oleh negara (pasal 33 UUD '45) dan dipercayakan
pengelolaannya kepada BUMN lewat kontrak yang diketahui dengan Pemprov, Pemda
dan pihak-pihak terkait (UU BPH Migas nomor 22/2001).
Jadi
Sapeken pulau yang jompak, lantaran pertumbuhan penduduknya mendahului laju
pertumbuhan ekonominya karena terlanjur diatur dengan pola administrasi
desa.
Mari
kita simak Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut Internasional atau Unclos '82
pasal 21 yang mendefiniskan pulau sebagai berikut: "daratan yang terbentuk
secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air pada saat
pasang naik tertinggi." Konvensi PBB ini ingin menyatakan, ada 4
persyaratan pulau: (1) memiliki lahan daratan (2) terbentuk secara alami; bukan
reklamasi (3) dikelilingi oleh air (4)
berada di atas garis pasang air laut.
Indonesia
sendiri memiliki 5 pulau besar: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian
Jaya. Selebihnya adalah pulau-pulau atau kepulauan (pasal 47 ayat 9 Konvensi
PBB tentang hukum laut). Beberapa pulau di Indonesia, sudah menjadi kabupaten.
Untuk menyebut di antaranya adalah (1) Kabupaten Kepulauan Mentawai lewat UU
No. 49 tahun 1999 (2) Kapubaten Kepulauan Riau lewat UU No.25 tahun 2002 (3)
Kabupaten Kepulauan Seribu lewat UU No.22 tahun 1999 (4) Di Indonesia Timur
(Maluku) ada (a) Kabupaten Kepulauan Aru, dasar hukum UU No. 40 tahun 2003 (b)
Kabupaten Kepulauan Sula lewat UU No.1 tahun 2003 (c) Kabupaten Pulau Morotai
lewat UU RI Tahun 2008 No.53 Tahun 2008 (d) di Sulawesi Utara ada Kabupaten Kepulauan Talaud lewat UU No. 8
tahun 2002
Pulau Sapeken yang satu rumpun dengan Ngaliyao
itu, dipimpin oleh kalebun/Kades selama 6 periode dari (1) Kades Daeng
Manjakari Sa'adullahi (1931-1942), (2) Kades Abdul Ghalib Daeng Mutiara(Daeng
Jenne) (1942-1947), (3) Kades Daeng Sandre' (1947-1977), (4) Kades H.M. Ali
Daeng Sandre' (1978-2004) (5) Kades H.Zaenuddin (2004-2009) (6) Kades Salim
(2009-2014). Kalebun adalah terminologi pemerintahan Madura berbasis pedesaan
bukan kepulauan. Jadi warga Sapeken, dipaksa kalah dan mengalah pada takdir
geografisnya yang jauh dari kerajaan leluhurnya di ranah Karaeng, dan terpaksa
belajar menyesuaikan diri dengan sistem keadipatian, sistem kawedanan, dan
sekarang sistem kekalebunan.
Pilihan
sistem administrasi pemerintahan desa dan bukan kelurahan apalagi kepulauan;
bagi Sapeken dan sekitarnya, ini adalah pilihan pahit yang dari banyak sisi
sejujurnya tidak menguntungkan bagi percepatan pembangunan kepulauan. Pilihan
ini hanya menggemukkan kabupaten dan provinsi bahkan pemerintah pusat.
Kepulauan Sapeken kaya hasil alam, sementara dengan posisinya sebagai desa
menyebabkan kadesnya serta perangkat desa;
tidak punya akses legal hukum untuk masuk, sedang lurah punya akses
untuk tahu dan ikut terlibat dari hulu sampai hilir. Itu bedanya. Jadi kepala
desa kedepan harus mengerti hukum, kaya wawasan dan pengalaman, serta punya
visi global supaya mampu melakukan collective bargaining ditingkat lebih
tinggi.
Hal
yang menarik dan menjadi angin syorga bagi Kades baru Sapeken 2014-2019 dan
periode selanjutnya, yaitu UU Desa nomor
6/2014, yang sudah ditandatangani oleh Presiden SBY pada, 15 Januari 2014, dan
disahkan oleh DPR pada 18 Desember 2013. UU Desa ini menempatkan kades (a)
punya penghasilan tetap, tunjangan dan penerimaan lainnya, jaminan kesehatan
dan perlindungan hukum (pasal 26, 3 c & d). (b) Ada 72.000 desa
se-Indonesia (tentu saja termasuk desa-desa di kec. Sapeken) akan menerima
kucuran dana dari Pemerintah Pusat sekitar 1,4 miliar dan 700 juta dari Pemerintah Provinsi, sesuai geografis,
jumlah penduduk dan data orang miskin. Ini kabar fantastik, yang menjadi
tantangan sekaligus godaan.
PERAN
TOKOH KHARISMATIK.
Allahyarham
Sahwanoeddin mencatat, bulan Desember 1947, adalah tahun ramai-ramainya
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa di dua distrik, kecamatan Arjasa dan
kecamatan Sapeken. Pertama: karena usia
kades lama sudah pada sepuh, umumnya di atas 60 tahun ke atas. Kedua: dalam
rangka pencerahan kepemimpinan kades itu sendiri pasca agresi I & II
Belanda di kepulauan Sapeken. Dan pemilu Kades Sapeken akhir tahun 1947 itu,
dimenangkan oleh Daeng Sandre' bin Ramang Daeng Nyampa' (1897-1977), pertautan
keturunan Karaeng Galesong dan keturunan Raja Goa.
Dua
tokoh paling berpengaruh, Puan Haji Abu Hurairah (1881-1974) dibantu oleh Haji
Sanusi menjadi kunci kemenangan ba'dallah-
Daeng Sandre'. Inilah penuturan
sang Anak H.M.Ali Daeng Sandre' yang ditulis oleh sang cucu dalam
bukunya:
"Atas
inisiatif dan rasa peduli pada rakyat di bawah naungan ketokohannya, Puang
Jambol berangkat didampingi H. Sanusi ke Sumenep. Keduanya hendak menghadap
Bupati, dan meyakinkan petinggi di Sumenep bahwa jikalau mau melihat rakyat
Sapeken aman dan tentram, maka Daeng Sandre' harus diangkat menjadi pemimpin
rakyat pulau itu." (Yazid Rahman Passandre. Daeng Sandre' Kilas Jejak Sang
Pemimpin dari Tanah Makassar ke Pulau Sapeken. Yayasan Islam as-Sakinah,
Januari 2010, cet.1 hal.38).
Testimoni
ini sangat heroik dan patriotik; (1) karena sebelumnya Sapeken berada dalam
situasi agresi kolonial Belanda antara Juli-Desember 1947, dan otomatis
kepemimpinan Sapeken ketika itu jelas berada dalam bayang-bayang Belanda, (2)
Independensi politik dalam 6 bulan masa agresi itu, jelas terpasung. Ini
ditunjukkan oleh anak kalimat "jikalau mau melihat rakyat Sapeken aman dan
tentram", (3) Inisiatif Puang Haji Abu Hurairah dan H. Sanusi harus
ditangkap sebagai bagian dari upaya penyelamatan estafeta kekalebunan di
Sapeken. Kepemimpinan formal (kades) di Sapeken tidak boleh menjauh apalagi
meninggalkan kepemimpinan tokoh kharismatik (ulama). Ini dibuktikan dalam dua
era kepemimpinan Kades Sapeken, diera Daeng Sandre' (1947-1977) dan 24 tahun
tahun lebih kepemimpinan sang putera sebagai penerus H.M.Ali Daeng Sandre'
(memerintah; 1978-2004). Hasilnya, Sapeken benar-benar berada dalam situasi
aman dan tentram, baldah thayyibah wa rabbun ghafur.
Penulis:
Abu Taw Jieh Rabbanie (Penulis Buku Jurnal Ramadhan)
Narasumber
utama: K.H. Ad-Dailami Abu Hurairah, H.M.Ali Daeng Sandre'
Tidak ada komentar:
Posting Komentar