Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Kamis, 06 November 2014

PULAU SAPEKEN BERBEDAH

Dermaga Baru Sapeken dalam tahap finishing


al-jazeeraik2s.blogspot.com Sebuah sumber menyebutkan, secara dialektikal Sapeken berasal dari kata (1) si Pakkan, artinya karam atau tenggelam. Dinisbatkan pada kapal layar lintas Makassar-Lombok yang dilaporkan pernah karam dan terdampar  di Pulau Sapeken. (2)  Sepekan, ini versi Jawa-Madura, artinya seminggu. Maksudnya jarak tempuh perjalanan seminggu berlayar. Dialektikal yang pertama, tampaknya lebih dekat dengan nuansa kebahasaan suku Samè Bajo.   (Yazid Rahman Passandre. 2010 hal.12).
Sapeken sebagai sebuah teritori (perairan)  boleh jadi, sudah lama ada. Sapeken sebagai pulau berpenghuni, sampai saat ini, naskah lontara-nya belum terlacak. Kajian mendalam soal riset etnografi (kebudayaan) maupun historiografi (penulisan sejarah) terkait pulau Sapeken, belum ditemui. Data arkeologi (purbakala) seperti rumah kuno, tempat ibadat terlama, pertanahan, kuburan tua, pemilik perahu paling awal, dan seterusnya; juga belum muncul.


Hemat penulis, perlu ada pihak yang memfasilitasi; (1) karena sejarah adalah ilmu terbuka, siapapun boleh memasukinya; asal syarat-rukunnya terpenuhi (2) Ilmu ancient history (asal-usul sejarah) diperlukan untuk penentuan hari jadi Sapeken. Aneh jika sampai hari ini, Sapeken belum punya hari jadi (milad, HUT, harlah). Aneh, jika warga Sapeken, tidak tahu kapan pulaunya lahir dan bernama Sapeken (3) Umur suatu komunitas menunjukkan jati dirinya, hari jadi simbol identitas sekaligus kekuatan sejarah yang merupakan kebanggaan tersendiri bagi warganya.
Ini tantangan bagi pejabat daerah, tokoh lokal, peneliti dan mahasiswa kepulauan untuk menggali nilai sejarah daerahnya sendiri. Lucu, jika Sapeken berbenah menjadi kebupaten kepulauan, sejarah lokalnya belum tuntas secara institusional. 
Suasana bongkar muat BBM untuk PLN di Dermaga lama Sapeken


SAPEKEN PULAU TERBUKA.
(1) Terbuka karena penduduknya yang multi-etnisitas (campuran suku), seperti Samè Bajo, Mandar, Bugis, Makassar, Arab, China, dan Kangean, yang dari dulu bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmoni. (2) Terbuka  karena watak para pelaut umumnya memang komunikatif dan dialogis, atmosfer pemikirannya bak samudera nan luas (3) Sapeken sentral jalur kepulauan, tempat transit dan singgah perahu motor, sehingga perputaran ekonomi dan siklus bisnis, jauh lebih cepat (4) Sapeken ibukota kepulauan yang membawahi beberapa desa disekitarnya. Hal ini banyak mengundang tanda tanya, kenapa Sapeken masih dipimpin oleh Kalebun (Kades), kenapa bukan Lurah.  (5) Pemerintahan Sapeken dulunya secara administratif- onderdistrik dengan Wedono Arjasa (doeloe bernama Ngaliyao), yaitu ketika Songennep (nama kuno Sumenep) diperintah oleh Adipati pertamanya Arya Wiraraja (1269-1316 M). Sebelum akhirnya ditahun 1883 M, Belanda melalui Nederland Indische Regening mengganti sistem keadipatian Songennep dengan sistem bupati, camat dan kepala desa. Otomatis tata-pemerintahan Sapeken ikut menyesuaikan diri.
SAPEKEN ITU PULAU BUKAN DESA.
Dari awal sejarahnya, Sapeken terlahir dengan nama pulau (Indonesia: pulo, nusa. Inggris: island, archipelago), bukan desa atau pedesaan. Desa menurut UU no.5 tahun 1979 dan UU no. 22 tahun 1999 adalah: "wilayah berpenduduk terbatas, punya organisasi terendah, dan wilayah kekuasaan terbatas."  Sementara tingkat kepadatan penduduk Sapeken sudah mencapai 187,06 jiwa/km². Desa menurut UU Desa no.6/2014, jika penduduknya, lebih dari 6.000 jiwa untuk Jawa dan Madura. Sementara penduduk Sapeken dari data Bappeda Sumenep 2003, ada 37.765 jiwa (artinya lebih dari 6 kali lipat).Desa itu, bercorak agraris sedang pulau bercorak maritim. 
Desa menunjuk pada komunitas warga yang tinggal di luar kota. Terus terang; desa itu udik, sedang pulau adalah bahari. Pulau punya nilai jual pariwisata dan hasil kekayaan alam. Pulau punya kekayaan laut, sedang desa mengandalkan lahan pertanian. (sumber: www.id.wikipedia.org/wiki/desa).  Desa itu jika lokasi hunian penduduk dibanding luas tanahnya, masih tidak seimbang. Maksudnya, lebih luas tanah daripada jumlah penduduk. Sementara Sapeken, kepadatan jumlah penduduknya bukan main. Namun namanya masih tetap desa. Ini lucu.
Jika Sapeken diatur dengan administrasi desa, maka kekayaannya seperti diatur dalam UU nomor: 4/2007 hanya berupa (a) tanah kas desa (b) pasar desa (c) pasar hewan (d) tambatan perahu (e) bangunan desa (f) pelelangan ikan (g) lain-lain; seperti hal kontrak, hibah, sumbangan dan hasil kerja sama. (g) Adapun soal kekayaan alam dimana Kecamatan Sapeken memilikinya- dikuasai oleh negara  (pasal 33 UUD '45) dan dipercayakan pengelolaannya kepada BUMN lewat kontrak yang diketahui dengan Pemprov, Pemda dan pihak-pihak terkait (UU BPH Migas nomor 22/2001).
Jadi Sapeken pulau yang jompak, lantaran pertumbuhan penduduknya mendahului laju pertumbuhan ekonominya karena terlanjur diatur dengan pola administrasi desa. 
Mari kita simak Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut Internasional atau Unclos '82 pasal 21 yang mendefiniskan pulau sebagai berikut: "daratan yang terbentuk secara alami dan dikelilingi oleh air, dan selalu di atas muka air pada saat pasang naik tertinggi." Konvensi PBB ini ingin menyatakan, ada 4 persyaratan pulau: (1) memiliki lahan daratan (2) terbentuk secara alami; bukan reklamasi (3)  dikelilingi oleh air (4) berada di atas garis pasang air laut.  
Indonesia sendiri memiliki 5 pulau besar: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya. Selebihnya adalah pulau-pulau atau kepulauan (pasal 47 ayat 9 Konvensi PBB tentang hukum laut). Beberapa pulau di Indonesia, sudah menjadi kabupaten. Untuk menyebut di antaranya adalah (1) Kabupaten Kepulauan Mentawai lewat UU No. 49 tahun 1999 (2) Kapubaten Kepulauan Riau lewat UU No.25 tahun 2002 (3) Kabupaten Kepulauan Seribu lewat UU No.22 tahun 1999 (4) Di Indonesia Timur (Maluku) ada (a) Kabupaten Kepulauan Aru, dasar hukum UU No. 40 tahun 2003 (b) Kabupaten Kepulauan Sula lewat UU No.1 tahun 2003 (c) Kabupaten Pulau Morotai lewat UU RI Tahun 2008 No.53 Tahun 2008 (d) di Sulawesi Utara ada  Kabupaten Kepulauan Talaud lewat UU No. 8 tahun 2002 

KADES SAPEKEN.
 Pulau Sapeken yang satu rumpun dengan Ngaliyao itu, dipimpin oleh kalebun/Kades selama 6 periode dari (1) Kades Daeng Manjakari Sa'adullahi (1931-1942), (2) Kades Abdul Ghalib Daeng Mutiara(Daeng Jenne) (1942-1947), (3) Kades Daeng Sandre' (1947-1977), (4) Kades H.M. Ali Daeng Sandre' (1978-2004) (5) Kades H.Zaenuddin (2004-2009) (6) Kades Salim (2009-2014). Kalebun adalah terminologi pemerintahan Madura berbasis pedesaan bukan kepulauan. Jadi warga Sapeken, dipaksa kalah dan mengalah pada takdir geografisnya yang jauh dari kerajaan leluhurnya di ranah Karaeng, dan terpaksa belajar menyesuaikan diri dengan sistem keadipatian, sistem kawedanan, dan sekarang sistem kekalebunan.
Pilihan sistem administrasi pemerintahan desa dan bukan kelurahan apalagi kepulauan; bagi Sapeken dan sekitarnya, ini adalah pilihan pahit yang dari banyak sisi sejujurnya tidak menguntungkan bagi percepatan pembangunan kepulauan. Pilihan ini hanya menggemukkan kabupaten dan provinsi bahkan pemerintah pusat. Kepulauan Sapeken kaya hasil alam, sementara dengan posisinya sebagai desa menyebabkan kadesnya serta perangkat desa;  tidak punya akses legal hukum untuk masuk, sedang lurah punya akses untuk tahu dan ikut terlibat dari hulu sampai hilir. Itu bedanya. Jadi kepala desa kedepan harus mengerti hukum, kaya wawasan dan pengalaman, serta punya visi global supaya mampu melakukan collective bargaining ditingkat lebih tinggi. 
Hal yang menarik dan menjadi angin syorga bagi Kades baru Sapeken 2014-2019 dan periode  selanjutnya, yaitu UU Desa nomor 6/2014, yang sudah ditandatangani oleh Presiden SBY pada, 15 Januari 2014, dan disahkan oleh DPR pada 18 Desember 2013. UU Desa ini menempatkan kades (a) punya penghasilan tetap, tunjangan dan penerimaan lainnya, jaminan kesehatan dan perlindungan hukum (pasal 26, 3 c & d). (b) Ada 72.000 desa se-Indonesia (tentu saja termasuk desa-desa di kec. Sapeken) akan menerima kucuran dana dari Pemerintah Pusat sekitar 1,4 miliar dan 700 juta  dari Pemerintah Provinsi, sesuai geografis, jumlah penduduk dan data orang miskin. Ini kabar fantastik, yang menjadi tantangan sekaligus godaan.
PERAN TOKOH KHARISMATIK.
Allahyarham Sahwanoeddin mencatat, bulan Desember 1947, adalah tahun ramai-ramainya penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa di dua distrik, kecamatan Arjasa dan kecamatan Sapeken.  Pertama: karena usia kades lama sudah pada sepuh, umumnya di atas 60 tahun ke atas. Kedua: dalam rangka pencerahan kepemimpinan kades itu sendiri pasca agresi I & II Belanda di kepulauan Sapeken. Dan pemilu Kades Sapeken akhir tahun 1947 itu, dimenangkan oleh Daeng Sandre' bin Ramang Daeng Nyampa' (1897-1977), pertautan keturunan Karaeng Galesong dan keturunan Raja Goa.
Dua tokoh paling berpengaruh, Puan Haji Abu Hurairah (1881-1974) dibantu oleh Haji Sanusi menjadi kunci kemenangan ba'dallah-  Daeng Sandre'. Inilah penuturan  sang Anak H.M.Ali Daeng Sandre' yang ditulis oleh sang cucu dalam bukunya:
"Atas inisiatif dan rasa peduli pada rakyat di bawah naungan ketokohannya, Puang Jambol berangkat didampingi H. Sanusi ke Sumenep. Keduanya hendak menghadap Bupati, dan meyakinkan petinggi di Sumenep bahwa jikalau mau melihat rakyat Sapeken aman dan tentram, maka Daeng Sandre' harus diangkat menjadi pemimpin rakyat pulau itu." (Yazid Rahman Passandre. Daeng Sandre' Kilas Jejak Sang Pemimpin dari Tanah Makassar ke Pulau Sapeken. Yayasan Islam as-Sakinah, Januari 2010, cet.1 hal.38).
Testimoni ini sangat heroik dan patriotik; (1) karena sebelumnya Sapeken berada dalam situasi agresi kolonial Belanda antara Juli-Desember 1947, dan otomatis kepemimpinan Sapeken ketika itu jelas berada dalam bayang-bayang Belanda, (2) Independensi politik dalam 6 bulan masa agresi itu, jelas terpasung. Ini ditunjukkan oleh anak kalimat "jikalau mau melihat rakyat Sapeken aman dan tentram", (3) Inisiatif Puang Haji Abu Hurairah dan H. Sanusi harus ditangkap sebagai bagian dari upaya penyelamatan estafeta kekalebunan di Sapeken. Kepemimpinan formal (kades) di Sapeken tidak boleh menjauh apalagi meninggalkan kepemimpinan tokoh kharismatik (ulama). Ini dibuktikan dalam dua era kepemimpinan Kades Sapeken, diera Daeng Sandre' (1947-1977) dan 24 tahun tahun lebih kepemimpinan sang putera sebagai penerus H.M.Ali Daeng Sandre' (memerintah; 1978-2004). Hasilnya, Sapeken benar-benar berada dalam situasi aman dan tentram, baldah thayyibah wa rabbun ghafur.
Penulis: Abu Taw Jieh Rabbanie (Penulis Buku Jurnal Ramadhan)
Narasumber utama: K.H. Ad-Dailami Abu Hurairah, H.M.Ali Daeng Sandre' 

Tidak ada komentar: