عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ
يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ فَإِنْ أَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ عَزَّ
وَجَلَّ وَعَدَلَ كَانَ لَهُ بِذَلِكَ أَجْرٌ وَإِنْ يَأْمُرْ بِغَيْرِهِ كَانَ
عَلَيْهِ مِنْهُ
Abu
Hurairah r.a meriwayatkan, Nabi s.a.w bersabda: Sesungguhnya seorang imam
(pemimpin) itu merupakan pelindung. Dia bersama pengikutnya memerangi orang
kafir dan orang dzalim serta memberi perlindungan kepada orang-orang Islam.
Sekiranya dia menyuruh supaya bertaqwa kepada Allah dan berlaku adil maka dia
akan mendapat pahala, akan tetapi sekiranya dia menyuruh selain dari yang
demikian itu, pasti dia akan menerima akibatnya.” Shahih Bukhari [2956]; Shahih
Muslim [1841]
IMAMAH ITU AMANAH. Bagi Islam, persoalan imamah berkaitan dengan banyak aspek, di
antaranya persoalan; (a) al-wilāyāt, wilayah kekuasaan, siapa yang layak siapa yang tidak
layak, karena itu diperlukan syarat kelayakan menjadi pemimpin, (b) al-iqtidā’,
soal keteladanan atau kepantasan untuk diikuti, (c) ar-ri’āsah,
yaitu kepemimpinan dan kemampuan mewariskan nilai-nilai. Dari sini, timbul
syarat dan kriteria imam (istihqāqul-imāmah),
ada prosesi pengangkatan dan pemberhentian imam.
Abu Hurairah RA meriwayatkan, Rasulullah s.a.w pernah mengutus suatu ekspedisi jumlahnya sekitar satu nafar (rombongan). Nabi s.a.w bertanya, “mādzā ma’aka minal-qur’ān; siapa di antara kalian yang bacaan Qur’annya lumayan?. Anggota rombongan dikumpulkan untuk test bacaan. Hasilnya, belum masuk kriteria. Ada anggota rombongan yang usianya lebih tua, ia ditanya: “mādzā ma’aka minal-qur’ān yā fulān,” ia menjawab: “ma’iy kadzā wa kadzā wa sūratil-baqarah,” hapalan Qur’anku sekitar ini dan ini, di antaranya surah al-Baqarah. Nabi s.a.w bersabda: “idzhab fa’anta amīrahum,” berangkatlah kalian, dan andalah yang menjadi amir safar. (Shahih Ibnu Khuzaimah, Kitābul-Imāmah Fi-Shalāh wamā Fīhā minas-Sunan, no.hadits:7051)
KRITERIA. Dialog ini memperlihatkan, betapa beratnya mengemban amanah imamah (jadi pemimpin). Dibutuhkan sekian banyak syarat. (1) Syarat agama yakni Islam, (2) Syarat gender harus dzukūrah (laki-laki), khususnya untuk jabatan strategis seperti hakim dan kepala negara (3) Syarat kematangan harus ‘aqil-baligh, (4) Syarat keahlian, yaitu ahlul ‘ilmi paling tidak pakar dibidangnya, (5) Syarat kesehatan; tidak cacat mental, cacat fisik atau disfungsi panca indera, (6) Syarat kepribadian; yaitu orang adil bukan orang fasiq atau dzalim, memiliki rekam jejak keshalehan; seperti amanah (punya integritas moral), fathonah (cerdas, berwibawa dan bijaksana), shiddiq (jujur, benar dan dapat diteladani, tidak terlibat KKN), serta tabligh (aktif, komunikatif dan aspiratif). (7) Syarat kesatriaan; punya komitmen untuk membela dan menegakkan syariat Islam, punya kemampuan untuk memperbaiki keadaan khususnya dibidang tertentu yang bermasalah.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ
: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم:ثَلاَثَةٌ لاَ تُقبَلُ لَهُمْ صَلاَةٌ :
الرَّجُلُ يَؤُمُّ الْقَوْمَ ، وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ ، وَالرَّجُلُ لاَ يَأْتِي الصَّلاَةَ
إلا دِبَارًا (يَعْنِي بَعْدَ مَا يَفُوتُهُ الْوَقْتُ) ، وَمَنِ اعْتَبَدَ مُحَرَّرًا.أخرجه
أبو داود (593) و"ابن ماجة"970
Dari
Abdullah bin Amru ia berkata, "Rasulullah s.a.w bersabda: "Tiga
golongan yang shalatnya tidak diterima; seseorang yang mengimami suatu kaum
sementara mereka tidak menyukainya, orang yang tidak melaksanakan shalat
kecuali telah habis waktunya, dan orang yang memperbudak orang merdeka."
Abu Dawud & Ibnu Majah, Shahihul Jami (8011)
Berkata
Shiddiq Hasan Khan rahimahullah, “Dhahir hadits yang menerangkan hal ini, bahwa
tidak ada perbedaan antara orang-orang yang membenci dari orang-orang yang
mulia (ahli ilmu), atau yang lainnya. Maka, dengan adanya unsur kebencian,
dapat menjadi udzur bagi yang layak menjadi imam untuk meninggalkannya".
Dalam Islam, imamah safar adalah salah satu model percontohan imamah. Menjadi imam ketika bepergian bisa menjadi ukuran keberhasilan memimpin imamah yang lebih luas. Menjadi imam musafir gampang-gampang susah. Dibutuhkan syarat ke'arifan, kefaqihan dan ke'aliman. Sulitnya rute perjalanan, perasaan letih, perjalanan yang melelahkan, makan minum dan istirahat yang terganggu; menyebabkan imam safar bekerja lebih ekstra dalam memahami spektrum jamaahnya satu persatu. Apalagi –tulis Imam as-Syafii rahimahullah- keluar watak asli orang ketika ia safar. Musafir mudah tersulut emosi, bawaannya spaning tinggi melulu, Karena itu, Allah s.w.t menurunkan syariat rukhsah (keringanan, dispensasi) buat musafir.
Utsman bin Abil-'Ash RA saudara kandung sahabat Hakam bin Abil-'Ash at-Tsaqafi dari Bani Tsaqif
Adalah seorang amir al-fadhil wal-mu'taman, mulia dan amanah dalam kepemimpinannya. Setelah menyatakan keislamannya di tahun 'amul-wufud tahun ke-9 H, Nabi s.a.w tetap menunjuknya sebagai amir di tengah kaumnya Bani Tsaqif, padahal usianya saat itu masih terbilang muda. Nabi s.a.w bersabda: "anta imāmahum, anda pemimpin mereka". Di zaman Abu Bakar Shiddiq (10-13 H) ia terpilih menjadi Gubernur Thaif, di zaman khalifah Umar (13-23 H) ditunjuk menjadi Gubernur Oman dan Bahrein. Dan di tangannya terbuka kejayaan agama, penaklukan dan kesejahteraan ummat.
Dalam dialog di atas, Nabi s.a.w menahan
keberangkatan rombongan itu sebelum jelas siapa amir safarnya. Frase ini
menunjukan, betapa urusan imamah ini adalah persoalan serius. Urusan
imamah menyangkut tegaknya tulang punggung kehidupan. Imamah adalah penyangga
agama dan penangkal kerusakan. Agama adalah landasan, sedang kekuasaan adalah
penyangga. Tanpa landasan, kehidupan bisa runtuh dan tanpa penyangga, agama
tidak maksimal berdaulat. Tanpa agama, kekuasaan akan diktator dan merusak
tatanan kehidupan sebagaimana pernah dialami oleh kaum Bani Israil di era
Fir‘aun.
Jadi penegakan
kepemimpinan yang kuat dan amanah (al-qawiyyul amin dan al-hafidzul-‘alim)
adalah suatu keniscayaan syar‘i. Dari tangan pemimpin diharapkan lahir perubahan yang bermashlahat dan dapat
mengembalikan kejayaan, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman
‘alayhimassalam, serta bisa mencegah kerusakan global sebagaimana
dilakukan oleh Dzulqarnain atas kerusakan yang ditimbulkan oleh Ya’juj dan
Ma’juj.
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ
اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ
غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلاَّ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
"Tidak seorang pun yang diamanati oleh Allah memimpin
rakyat kemudian sampai ia mati ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah
haramkan baginya syurga." Shahih Muslim (142) dari Ma'qil bin Yasar
مَنْ وَلاَّهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ
وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ
"Barangsiapa yang Allah 'Azza wajalla serahkan kepadanya
sebagian urusan orang muslim kemudian ia menutup diri dari melayani kebutuhan
mereka dan keperluan mereka, maka Allah menutup diri darinya dan tidak melayani
kebutuhannya, serta keperluannya." HR Imam Abu Dawud (2948); Imam
Tirmidzi (1333) dari Qasim bin Mukhaimirah. As-Shahihah Syeikh Albani (629)
PEMIMPIN ITU CERMIN. Nabi s.a.w bersabda: "al-imāmu dhāmin" pemimpin itu penjamin atau pihak yang menanggung.
Jika dia baik, maka rakyatnya ikut baik. (Shahihul Jami':4552). Imam al-Khatthabi
(w.388 H) dan Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w.751 H) menerjemahkan kata dhamin
dengan "al-mutakaffil" yaitu pihak penanggung yang
bertanggungjawab membereskan urusan sampai tuntas hingga orang lain tidak
merasa khawatir lagi dibuatnya.
Jadi pemimpin adalah cermin dan wajah bangsa. Nasib rakyat, berada dalam
genggaman kekuasaannya. Dalam riwayat
Ibnu Mas'ud RA Nabi s.a.w tandaskan: “sepeninggalanku nanti akan muncul
pemimpin-pemimpin yang kalian tidak sukai.”(Bukhari-Muslim). Ukuran
tidak suka ini, antara lain karena pemimpin terpilih ternyata lebih
mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, seperti ditunjukan oleh hadits berikut:
حَدِيثُ أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ رَجُلاً مِنَ اْلأَنْصَارِ خَلاَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلاَ تَسْتَعْمِلُنِي كَمَا اسْتَعْمَلْتَ
فُلاَنًا فَقَالَ إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً فَاصْبِرُوا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى
الْحَوْضِ
Usaid bin Hudhair r.a meriwayatkan: Seorang lelaki Anshar datang
sendirian menghadap Rasul s.a.w, dia berkata: “Kenapa baginda tidak menugaskan
aku sebagaimana engkau telah tugaskan si Fulan? Rasulullah s.a.w menjawab
dengan bersabda: Sesungguhnya kamu akan bertemu pemimpin yang mementingkan diri
sendiri serta congkak sepeninggalanku nanti, maka hendaklah kamu bersabar
sehingga kamu menemui aku di telaga (dalam syurga).” Shahih Bukhari
[2247,2248,2978,2992,3581,3582, Shahih Muslim [1845]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar