Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Minggu, 26 Mei 2013

INDAHNYA KEJUJURAN



A.DUSTUR ILAHI
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُوْنُوا مَعَ الصَّادِقِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan jadilah kalian bersama orang-orang yang jujur.”  At-Taubah: 119.
Ibnu  Mas’ud  berkata: “Kedustaan itu tidak pantas digunakan untuk suatu keseriusan, tidak pula dalam senda-gurau. Jika engkau mau, bacalah ayat di atas. Kemudian beliau katakan: “Apakah dalam ayat ini engkau dapati adanya satu keringanan bagi seorang pun untuk berdusta?”
Imam Ibnu Katsir  berkata: “Jujurlah engkau dan pegang erat-erat kejujuran itu. Niscaya engkau akan menjadi orang yang jujur dan selamat dari hal-hal yang membinasakanmu. Dengan kejujuran,  Allah  akan menjadikan untukmu kelapangan dan jalan keluar bagi segala urusanmu.” Tafsir Ibnu Katsir (Juz 2:525-526)


قاَلَ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ كَعْبٍ  : فَمَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ نِعْمَةً بَعْدَ اْلاِسْلاَمِ أَعْظَمَ فِي نَفْسِي مِنْ صِدْقِي رَسُولَ اللَّهِ  حِينَ صَدَقْتُهُ أَنَا وَصَاحِبَايَ وَلاَ نَكُونُ كَذَبْنَا فَهَلَكْنَا كَمَا هَلَكُوا وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ لاَ يَكُونَ اللَّهُ أَبْلَى أَحَدًا فِي الصِّدْقِ مِثْلَ الَّذِي أَبْلاَنِي مَا تَعَمَّدْتُ لِكَذِبَةٍ بَعْدُ وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ يَحْفَظَنِي اللَّهُ فِيمَا بَقِيَ

Berkata Ka‘ab bin Malik : “Tidak ada kenikmatan terbesar yang Allah berikan padaku setelah keislaman selain dari kejujuranku terhadap Rasulullah  ketika aku dan dua sahabatku (yaitu Mirarah bin Rabi' dan Hilal bin Umayyah Adhdhamri) jujur, seandainya kami berkata dusta, maka kami akan binasa sebagaimana mereka yang binasa dan aku berharap semoga Allah tidak menguji kejujuran orang lain seperti Allah menguji kejujuranku. Setelah kejadian ini,  aku tidak berani berdusta, dan aku berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku."
Shahih Bukhari (4401, 2606); Shahih Muslim (2769)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ  أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ  قَالَ بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ يَمْشُونَ إِذْ أَصَابَهُمْ مَطَرٌ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فَانْطَبَقَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ إِنَّهُ وَاللَّهِ يَا هَؤُلاَءِ لاَ يُنْجِيكُمْ إِلَّا الصِّدْقُ فَليَدْعُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْكُمْ بِمَا يَعْلَمُ أَنَّهُ قَدْ صَدَقَ فِيهِ
Dari Ibnu 'Umar  bahwa Rasulullah  bersabda: "Ada tiga orang dari orang-orang sebelum kalian yang ketika sedang bepergian turun hujan. Ketiganya lalu masuk ke dalam gua, namun kemudian gua itu (pintunya) menutup mereka. Di antara mereka berkata kepada yang lainnya; "Demi Allah, wahai kawan, tidak akan ada yang dapat menolong kalian kecuali kejujuran (kebajikan). Maka masing-masing dari mereka berdo'a dengan apa yang mereka ketahui sebagai suatu kebajikan. Shahih Bukhari (3278)

عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ  قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ  التَّاجِرُ اْلأَمِينُ الصَّدُوقُ الْمُسْلِمُ مَعَ الشُّهَدَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Dari Nafi' dari Ibnu Umar  ia berkata; "Rasulullah bersabda: "Seorang pedagang yang dapat dipercaya, jujur dan muslim, maka kelak pada hari Qiamat ia akan bersama para syuhada." Hadits hasan, HR Ibnu Majah (2139). Shahih Targhib wa at-Tarhib (1783)

عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ ، حَدَّثَنِي أَبِي ، عَنْ جَدِّي ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  يَقُولُ : وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ فَيَكْذِبُ ، لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ ، وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ.
Bahz bin Hakim telah menceritakan kepada kami bapakku dari kakekku dia berkata: Aku mendengar Nabi  bersabda: "Celakalah bagi orang yang mengatakan sesuatu agar supaya ditertawakan oleh orang orang kemudian dia berbohong, celakalah baginya dan celakalah baginya."  Hadits Hasan, HR Abu Dawud (4990), Tirmidzi (2315), Ahmad (20035), Shahih Targhib wa at-Tarhib (2944)

B. TENTANG TOPIK INI

Dunia modern hari ini, dilanda krisis kejujuran.. Budaya birokrasi sudah begitu lama dibentuk lewat tampilan “wajah hipokrit/munafik”, sehingga kejujuran menjadi barang langka di pasaran  Hukum tidak ditegakkan dengan jujur oleh para pengembannya, keadaan ekonomi jadi carut-marut karena ketidak-jujuran para penguasa dan para pengusaha. Ranah politik adalah zona paling serius dilanda erosi kejujuran. Guru kencing berdiri, murid kencing lari.

Keadilan hukum hanya bisa tegak oleh kejujuran, korupsi hanya bisa diobati oleh kejujuran, Kejujuran telah menyelamatkan Nabi Yusuf  dari fitnah. Dari Nabi Yusuf  yang jujur, Mesir keluar dari krisis.  Dengan kejujuran, Rasulullah   menundukkan akar jahiliyah Arab Quraisy. Kejujuran para penghapal dan penulis wahyu yang telah menyelamatkan kitab suci al-Qur’an dan sabda Nabi yang mulia. Kejujuran pangkal semua kebaikan, as-shidqu ra’su kulli syai’.

Kejujuran adalah akhlaq paling mulia di atas yang lain. Nikmat terbesar setelah islam adalah jujur.  Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah (w.751 H) menulis, semua tangga “iyyakana’budu wa’iyyakanasta’in”, mampir pada  maqam kejujuran. Kejujuran sifat para Nabi dan Rasul, dan hiasan bagi orang mu’min. Tak ada iman tanpa kejujuran,  Asas agama tegak di atasnya. Kejujuran bertumpu pada kebenaran, kebaikan, dan keindahan. Kejujuran pangkal thuma’ninah. Kejujuran pembeda orang mu’min dengan munafik, pembeda ahli syurga dan ahli neraka, Kejujuran, senjata Allah di muka bumi ini.

Ibadah tidak sah, tanpa kejujuran dalam niat dan tujuan. Kesaksian dipandang palsu jika keluar dari lisan dusta orang fasik.  Kejujuran, pemikat hubungan mu’amalat, Khadijah bint Khuwailid  tertarik kepada Nabi Muhammad , lantaran sifat “al-amin.” Kejujuranlah yang menempatkan para sahabat dalam tabaqat “radhiya’l-lahu ‘anhum wa radhuw ‘anh.”

Ka‘ab bin Malik  dan dua temannya, bulan Rajab 9 H, mendapatkan ampunan dari Allah setelah 50 hari diisolasi, karena keterus-terangannya di hadapan Nabi  mengutarakan kejujurannya tidak ikut perang Tabuk, akhirnya turun ayat atas kejujuran mereka bertiga di surah at-Taubah: 95-96 & 118.

‘Aisyah  disucikan namanya oleh Al-Qur’an, karena kejujurannya bertahan dalam badai fitnah “haditsul-ifki” pada bulan Syawwal tahun 6 H dengan turunnya surah an-Nur:11- 21.

C. FAWA'ID:  BEBERAPA FAEDAH
1.    Jujur tanda sekaligus wujud iman yang tertinggi, tanpa jujur orang mu’min tak ada bedanya dengan orang munafik, fasiq dan kafir. Ketidak-jujuran musuh agama, musuh kemajuan dan peradaban. Ketidak-jujuran biang carut-marutnya krisis bangsa dan Negara.
2.    Ke depan, tabi’at  jujur perlu dikenalkan secara terbuka, dibiasakan dan dikebangbiakkan sehingga tumbuh menjadi karakter personal, syakhsiyah muslim yang dengan imannya tumbuh kejujuran, yang dengan ibadatnya terbentuk sosok yang jujur, Dan negara harus mengkampanyekan gerakan kejujuran.
3.    Kejujuran tidak akan terealisir –tutur Imam Harits al-Muhasibi (w.243 H)- kecuali tercipta dalam 3 tindakan nyata, jujur dalam niat (ikhlas), jujur dalam ucapan (shiddiq), jujur dalam amal (mardhatillah), jujur dalam menyampaikan amanah, jujur dalam berjanji, jujur dalam menjalankan tugas sebagai ini sebagai itu.
4.    Kejujuran pangkal segala kebaikan dan kemaslahatan. Kejujuran sumber ketenangan jiwa (raahah nafsiyah) dan ketentraman batin (thuma’ninah al-qalb). Jujur mengundang keberkahan hidup.  Kejujuran  telah menyelamatkan Nabi Yusuf , Kejujuran telah menempatkan para Nabi dan pewarisnya pada derajat mulia. Kejujuran telah menyelamatkan 3 orang yang terjebak dalam goa. Para Sahabat Nabi terkenal dengan sifat jujurnya. Biasakanlah sifat jujur sehingga menjadi hiasan iman, ilmu dan amal, 
5.    Keutamaan jujur: pedagang yang jujur; harta, pekerjaan dan hasilnya akan Allah  berkahi, bersama para Shiddiqin di syurga, kejujuran setara dengan maqam syuhada’. Suami-isteri yang tidak jujur, digolongkan dayyuts (ديوث). Para Perawi hadits yang tidak dijujur digelar dengan kadzzab (pendusta) dan dajjal.

D. TA‘AMMULAT, RENUNGAN
(1) Kisah Ibnu Umar dengan Tukang Gembala

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ قَالَ: مَرَّ ابْنُ عُمَرَ بِرَاعِي غَنَمٍ، فَقَالَ: يَا رَاعِيَ الْغَنَمِ، هَلْ مِنْ جَزْرَةٍ ؟ قَالَ الرَّاعِي: مَا لَيْسَ هَاهُنَا رَبُّهَا. قَالَ: تَقُولُ أَكَلَهَا الذِّئْبُ، فَرَفَعَ الرَّاعِي رَأْسَهُ إِلَى السَّمَاءِ، ثُمَّ قَالَ: فَأَيْنَ اللَّهُ ؟ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَأَنَا وَاللَّهِ أَحَقُّ أَنْ أَقُولَ: فَأَيْنَ اللَّهُ. فَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ الرَّاعِيَ، وَاشْتَرَى الْغَنَمَ، فَأَعْتَقَهُ وَأَعْطَاهُ الْغَنَمَ.

Zaid bin Aslam berkata: Ibnu ‘Umar pernah melewati seorang penggembala kambing. Ibnu Umar bertanya: “wahai tukang gembala, apakah kau mau jual kambing.” Tukang gembala berkata: “pemiliknya tidak ada disini.” Ibnu Umar: “katakan saja, kalau kambing itu disergap serigala.” Tukang gembala mendongakkan kepalanya ke langit sambil berkata: “maka di mana Allah?” Ibnu Umar: “aku lebih pantas mengucapkan kata fa’ayna’l-lah.” Maka Ibnu Umar menebus tukang gembala itu dan membeli kambing tadi, lalu membebaskannya dan menyerahkan kambing itu kepadanya.”
HR Imam Thabarani  dalam Mu’jam al-Kabir (13054), Imam Baihaqi, Syu’abul-Iman (8614) Imam al-Harawi dalam Arba’in, dihasankan oleh Imam al-Haitsami, Majma’ Zawa’id no.: 15866

(2) Kisah Umar bin Khatthab dengan Puteri Penjual Susu
'Abdullah bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya Aslam, ia berkata: suatu malam, Khalifah Umar al-Faruq  memeriksa kondisi rakyat. Sampai tengah malam, saat khalifah bersender ke tembok rumah. Tiba-tiba, Umar mendengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Yā ibnatāh quwmiy ilā dzālika'l-laban famdzuqīh bi'l-mā'i, wahai puteriku berdirilah campurlah susu itu dengan air.” Gadis itu menjawabnya, “Wahai ibuku! Tidakkah engkau mengetahui apa yang ditekankan Amirul Mukminin?” Wanita itu berkata, “Apa yang ditekankan olehnya, wahai putriku?” Dia berkata, “Dia memerintahkan penyerunya untuk berseru, ‘Jangan (mencampur) susu dengan air’.”
Wanita itu berkata, “Campurlah susu itu dengan air, lalu campurlah ia dengan air, sesungguhnya kamu berada di sebuah tempat yang kamu tidak akan dilihat oleh Umar, dan tidak pula penyeru Umar.” Dengan tangkas gadis itu menyanggah, "yā ummatah wallāhi mā kuntu la'uthī'uhū fi'l-mala'i wa 'a'shīhi fi'l-khalā'i.   “Wahai ibuku! Demi Allah, aku tidak mau menurutinya di depan umum lalu mendurhakai-Nya di kala sendiri.”
Pagi harinya, Umar  berkata kepada putranya, Ashim, “Pergilah ke tempat ini, sesungguhnya di sana terdapat seorang gadis. Jika ia tidak sibuk, nikahilah dia. Semoga Allah menganugerahimu kelembutan yang diberkahi darinya.”
Dari pernikahan ini  Ashim bin Umar bin Khatthab memiliki anak bernama  'Ummu Ashim, yang kemudian dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan dan memberinya anak, Umar bin Abdul Aziz, sang pemimpin yang adil, semoga Allah Ta’ala merahmati dan meridhainya.
Sumber: “90 Kisah Malam Pertama”, Abdul Muththalib Hamd Utsman,Pustaka Darul Haq

Tidak ada komentar: