Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Minggu, 02 September 2012

MENCARI KAMPUS ANTI KORUPSI



Membersihkan lantai yang kotor harus menggunakan sapu yang bersih, sebab sapu yang kotor tidak akan dapat membersihkan lantai yang kotor. Sapu yang kotor malah dapat membuat lantai yang disapu menjadi lebih kotor lagi, kotoran yang ada disapu akan mengotori lantai yang sedang dibersihkan.
Analogi tersebut tepat bila diibaratkan dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi harus dilakukan oleh para penegak hukum yang bersih dari perilaku dan sikap yang korup. Jika aparat penegak hukum juga terlibat dan main-main dengan persoalan korupsi maka tidak bisa diharapkan lagi pemberantasan korupsi di negara ini akan berjalan sesuai harapan rakyat dan the founding fathers bangsa.
 
Faktanya, institusi dan aparat penegak hukum yang berwenang memberantas korupsi saat ini tengah disorot oleh publik dan media karena banyak yang terlibat dalam kasus korupsi, baik itu di kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman. Hal ini tentu saja akan membuat pemberantasan korupsi lebih lama dan berliku. Ibaratkan lantai yang kotor, debu dan kotorannya sudah semakin tebal dan berkerak.
Kampus yang di dalamnya ada mahasiswa dan dosen merupakan perwujudan masyarakat sipil (civil society) yang dapat menjadi lokomotif dan pelopor pemberantasan korupsi di negara ini. Pemberantasan korupsi tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada aparat penegak hukum yang diindikasi banyak terlibat dalam praktik korupsi.     
Sebagai perwujudan masyarakat sipil, kekuatan mahasiswa dapat menjadi gerakan penyeimbang dan kontrol terhadap lembaga penegak hukum dan aparat keamanan yang berwenang memberantas korupsi. Kontrol tentu tidak bisa dimaksudkan sebagai upaya intervensi atau cawe-cawe terhadap proses persidangan dan penyelidikan kasus korupsi yang sedang berlangsung. Namun lebih kepada upaya untuk menyampaikan kritik, masukan, saran dan evaluasi terhadap proses pemberantasan korupsi yang dilakukan.  
Selama ini dari kampus banyak lahir para praktisi, pengamat dan ilmuan yang mumpuni dalam membuat analisa, kajian dan rekomendasi mengenai pemberantasan korupsi. Banyak aktivis antikorupsi yang berasal dari dunia kampus, dan sebagian besar di antara mereka yang konsisten dengan ide dan pemikiran pemberantasan korupsi.
Ke depan, kampus diharapkan betul-betul menjadi prototipe dari sebuah lembaga yang menjalankan sistem dan tata kelola institusi yang menerapkan prinsip clean and good governance sehingga memungkinkan terbangunnya sebuah tatanan miniatur masyarakat yang bebas dari korupsi, dan menjadi benteng utama perhananan bangsa dan negara ini dari segala hal yang berbau korupsi.
Pada tataran kelembagaan, kampus harus menerapkan sistem yang transparan dan terbuka, mudah diakses dan terevaluasi. Dengan begitu, baik keluarga besar kampus, terutama mahasiswa, maupun pihak di luar kampus dapat mengontrol berjalannya sistem di dalam kampus yang transparan dan akuntabel, terutama dalam persoalan keuangan, penerimaan mahasiswa baru, rekrutmen dosen dan karyawan, serta persoalan lain yang sensitif di mata publik.
Lebih jauh lagi, setiap kampus di daerah, terutama kampus yang memiliki fakultas hukum membuat lembaga kajian dan penelitian yang fokus pada penelitian dan pemberdayaan masyarakat sipil untuk ikut bersama-sama memberantas korupsi. Lembaga kajian dan penelitian ini proaktif dalam menerima pengaduan masyarakat yang melihat, mendengar, atau mengetahui adanya tindakan korupsi yang dilakukan para pejabat di daerah.  
Lembaga kajian dan penelitian ini kemudian membuat jurnal khusus dengan tema-tema pemberantasan korupsi yang rutin terbit setiap bulan dan disebar ke masyarakat. Jurnal ini menjadi salah satu sarana kampanye pemberantasan korupsi dan penyadaran kepada publik untuk berani menyuarakan “katakan tidak pada korupsi.”
Lembaga kajian ini perlu rutin mendatangi dan memantau proses peradilan kasus-kasus dugaan korupsi yang berlangsung di pengadilan negeri setempat. Dengan begitu, akan banyak temuan, data dan hal-hal menarik terkait kasus korupsi yang masuk ke kejaksaan dan pengadilan negeri. Sehingga, materi untuk jurnal juga semakin kaya, dan materi untuk bahan kajian persoalan korupsi juga beragam dan lengkap.  
Selain itu, pihak kampus juga bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam meneruskan pengaduan masyarakat terhadap adanya indikasi temuan perbuatan korupsi di daerah. Hal dilakukan bukan untuk memperpanjang alur birokrasi pelaporan kasus dugaan korupsi, melainkan salah satu upaya jemput bola dari kampus, untuk proaktif mendekatkan warga dengan institusi penegak hukum.      
Kampus harus berani memasang poster, spanduk, baliho dan beragam alat peraga lain di sekitar kampus yang berisi tulisan “kampus bebas korupsi”, jika itu dilakukan, maka secara moril kampus memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar untuk terus berusaha membersihkan lingkungan kampus dari praktik korupsi. Sama halnya dengan kampanye kampus yang menyebut “kampus bebas asap rokok”, maka beragam aturan dan fasilitas yang mengarah kepada pembersihan asap rokok dari kampus, pasti disediakan.
Kampus juga perlu melakukan sosialisasi dan penyadaran sekolah bebas korupsi, secara kontinyu ke sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan di bawah. Dunia pendidikan yang dipelopori kampus harus mampu mewujudkan paradigma luhur dan mulia dari jargon “jujur pasti mujur,” bukan malah sebaliknya “jujur pasti hancur.”
Jika perlu, setiap kampus memiliki sekolah binaan atau percontohan yang dapat menjadi prototipe dari perwujudan yang jujur pasti mujur tersebut. Sekolah yang menerapkan asas kejujuran dalam semua aspek kehidupannya berhasil dan sukses dalam melahirkan siswa dan peserta didik yang berprestasi dan sukses.  
Peran perguruan tinggi, terutama universitas negeri yang menggodok dan melahirkan sarjana pendidikan memiliki peran strategis untuk melahirkan pada guru dan pendidik yang memiliki paradigma dan orientasi penanaman nilai-nilai moral pemberantasan korupsi. Hal tersebut sangat penting untuk mengarahkan anak didik dan siswa kepada kesadaran untuk hidup bebas dari korupsi.    
Maka, gerakan pemberantasan korupsi oleh kampus dan mahasiswa sebagai penggerak utamanya merupakan gerakan kultural yang berjalan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang atau bahkan bisa long life campaign, yaitu kampanye sepanjang hayat dalam pemberantasan korupsi. 
Bagi para mahasiswa, tradisi melawan kedzaliman dan ketidakadilan harus tetap terus dilakukan. Jika dulu para mahasiswa berjuang mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan. Begitu pula dengan era Orde Baru, para mahasiswa berjuang turun ke jalan berunjuk rasa berhari-hari, siang dan malam menggulingkan rejim hingga lahir era reformasi, maka kini saatnya mahasiswa tampil di depan menjadi pelopor dari pemberantasan korupsi, dalam bentuk yang lebih soft, atau lebih hard lagi, jika memang situasi menuntut.    
Sebagai agen perubahan (agent of change) mahasiswa perlu menjadi pelopor utama dari gerakan kultural pemberantasan korupsi yang kondisinya sudah semakin memprihatinkan. Mahasiswa yang dianggap sebagai kelompok masyarakat terdidik, intelek dan memiliki kepribadian luhur memiliki peran penting dan strategis untuk menjadi jurkam pemberantasan korupsi di tengah-tengah masyarakat.
Karena dikenal dengan kaum intelektualnya, maka mahasiswa harus lebih gemar dan gencar lagi menulis di media massa, jurnal penelitian, majalah dinding, dan beragam sarana publikasi lainnya. Sehingga, dunia pendidikan dipenuhi dengan ide dan semangat pemberantasan korupsi secara berkesinambungan.      
                                
 Oleh: Moh. Hidayaturrahman, S.SosI
                                               Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Dr. Soetomo Surabaya



Tidak ada komentar: