Membersihkan lantai yang kotor harus
menggunakan sapu yang bersih, sebab sapu yang kotor tidak akan dapat
membersihkan lantai yang kotor. Sapu yang kotor malah dapat membuat lantai yang
disapu menjadi lebih kotor lagi, kotoran yang ada disapu akan mengotori lantai
yang sedang dibersihkan.
Analogi tersebut tepat bila diibaratkan
dengan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemberantasan korupsi harus
dilakukan oleh para penegak hukum yang bersih dari perilaku dan sikap yang
korup. Jika aparat penegak hukum juga terlibat dan main-main dengan persoalan
korupsi maka tidak bisa diharapkan lagi pemberantasan korupsi di negara ini
akan berjalan sesuai harapan rakyat dan the founding fathers bangsa.
Faktanya, institusi dan aparat penegak
hukum yang berwenang memberantas korupsi saat ini tengah disorot oleh publik
dan media karena banyak yang terlibat dalam kasus korupsi, baik itu di
kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman. Hal ini tentu saja akan membuat
pemberantasan korupsi lebih lama dan berliku. Ibaratkan lantai yang kotor, debu
dan kotorannya sudah semakin tebal dan berkerak.
Kampus yang di dalamnya ada mahasiswa dan
dosen merupakan perwujudan masyarakat sipil (civil society) yang dapat
menjadi lokomotif dan pelopor pemberantasan korupsi di negara ini.
Pemberantasan korupsi tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada aparat penegak
hukum yang diindikasi banyak terlibat dalam praktik korupsi.
Sebagai perwujudan masyarakat sipil,
kekuatan mahasiswa dapat menjadi gerakan penyeimbang dan kontrol terhadap
lembaga penegak hukum dan aparat keamanan yang berwenang memberantas korupsi.
Kontrol tentu tidak bisa dimaksudkan sebagai upaya intervensi atau cawe-cawe
terhadap proses persidangan dan penyelidikan kasus korupsi yang sedang
berlangsung. Namun lebih kepada upaya untuk menyampaikan kritik, masukan, saran
dan evaluasi terhadap proses pemberantasan korupsi yang dilakukan.
Selama ini dari kampus banyak lahir para
praktisi, pengamat dan ilmuan yang mumpuni dalam membuat analisa, kajian dan
rekomendasi mengenai pemberantasan korupsi. Banyak aktivis antikorupsi yang
berasal dari dunia kampus, dan sebagian besar di antara mereka yang konsisten
dengan ide dan pemikiran pemberantasan korupsi.
Ke depan, kampus diharapkan betul-betul
menjadi prototipe dari sebuah lembaga yang menjalankan sistem dan tata kelola
institusi yang menerapkan prinsip clean and good governance sehingga
memungkinkan terbangunnya sebuah tatanan miniatur masyarakat yang bebas dari
korupsi, dan menjadi benteng utama perhananan bangsa dan negara ini dari segala
hal yang berbau korupsi.
Pada tataran kelembagaan, kampus harus
menerapkan sistem yang transparan dan terbuka, mudah diakses dan terevaluasi.
Dengan begitu, baik keluarga besar kampus, terutama mahasiswa, maupun pihak di
luar kampus dapat mengontrol berjalannya sistem di dalam kampus yang transparan
dan akuntabel, terutama dalam persoalan keuangan, penerimaan mahasiswa baru,
rekrutmen dosen dan karyawan, serta persoalan lain yang sensitif di mata
publik.
Lebih jauh lagi, setiap kampus di daerah,
terutama kampus yang memiliki fakultas hukum membuat lembaga kajian dan
penelitian yang fokus pada penelitian dan pemberdayaan masyarakat sipil untuk
ikut bersama-sama memberantas korupsi. Lembaga kajian dan penelitian ini
proaktif dalam menerima pengaduan masyarakat yang melihat, mendengar, atau
mengetahui adanya tindakan korupsi yang dilakukan para pejabat di daerah.
Lembaga kajian dan penelitian ini kemudian
membuat jurnal khusus dengan tema-tema pemberantasan korupsi yang rutin terbit
setiap bulan dan disebar ke masyarakat. Jurnal ini menjadi salah satu sarana
kampanye pemberantasan korupsi dan penyadaran kepada publik untuk berani
menyuarakan “katakan tidak pada korupsi.”
Lembaga kajian ini perlu rutin mendatangi
dan memantau proses peradilan kasus-kasus dugaan korupsi yang berlangsung di
pengadilan negeri setempat. Dengan begitu, akan banyak temuan, data dan hal-hal
menarik terkait kasus korupsi yang masuk ke kejaksaan dan pengadilan negeri.
Sehingga, materi untuk jurnal juga semakin kaya, dan materi untuk bahan kajian
persoalan korupsi juga beragam dan lengkap.
Selain itu, pihak kampus juga bekerja sama
dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam meneruskan pengaduan masyarakat
terhadap adanya indikasi temuan perbuatan korupsi di daerah. Hal dilakukan
bukan untuk memperpanjang alur birokrasi pelaporan kasus dugaan korupsi,
melainkan salah satu upaya jemput bola dari kampus, untuk proaktif mendekatkan
warga dengan institusi penegak hukum.
Kampus harus berani memasang poster,
spanduk, baliho dan beragam alat peraga lain di sekitar kampus yang berisi
tulisan “kampus bebas korupsi”, jika itu dilakukan, maka secara moril kampus
memiliki tanggung jawab yang luar biasa besar untuk terus berusaha membersihkan
lingkungan kampus dari praktik korupsi. Sama halnya dengan kampanye kampus yang
menyebut “kampus bebas asap rokok”, maka beragam aturan dan fasilitas yang
mengarah kepada pembersihan asap rokok dari kampus, pasti disediakan.
Kampus juga perlu melakukan sosialisasi
dan penyadaran sekolah bebas korupsi, secara kontinyu ke sekolah-sekolah dan
lembaga pendidikan di bawah. Dunia pendidikan yang dipelopori kampus harus
mampu mewujudkan paradigma luhur dan mulia dari jargon “jujur pasti mujur,”
bukan malah sebaliknya “jujur pasti hancur.”
Jika perlu, setiap kampus memiliki sekolah
binaan atau percontohan yang dapat menjadi prototipe dari perwujudan yang jujur
pasti mujur tersebut. Sekolah yang menerapkan asas kejujuran dalam semua aspek
kehidupannya berhasil dan sukses dalam melahirkan siswa dan peserta didik yang
berprestasi dan sukses.
Peran perguruan tinggi, terutama
universitas negeri yang menggodok dan melahirkan sarjana pendidikan memiliki
peran strategis untuk melahirkan pada guru dan pendidik yang memiliki paradigma
dan orientasi penanaman nilai-nilai moral pemberantasan korupsi. Hal tersebut
sangat penting untuk mengarahkan anak didik dan siswa kepada kesadaran untuk
hidup bebas dari korupsi.
Maka, gerakan pemberantasan korupsi oleh
kampus dan mahasiswa sebagai penggerak utamanya merupakan gerakan kultural yang
berjalan secara terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang atau bahkan bisa long
life campaign, yaitu kampanye sepanjang hayat dalam pemberantasan
korupsi.
Bagi para mahasiswa, tradisi melawan
kedzaliman dan ketidakadilan harus tetap terus dilakukan. Jika dulu para
mahasiswa berjuang mengusir penjajah dan merebut kemerdekaan. Begitu pula
dengan era Orde Baru, para mahasiswa berjuang turun ke jalan berunjuk rasa berhari-hari,
siang dan malam menggulingkan rejim hingga lahir era reformasi, maka kini
saatnya mahasiswa tampil di depan menjadi pelopor dari pemberantasan korupsi,
dalam bentuk yang lebih soft, atau lebih hard lagi, jika memang
situasi menuntut.
Sebagai agen perubahan (agent of change)
mahasiswa perlu menjadi pelopor utama dari gerakan kultural pemberantasan
korupsi yang kondisinya sudah semakin memprihatinkan. Mahasiswa yang dianggap
sebagai kelompok masyarakat terdidik, intelek dan memiliki kepribadian luhur
memiliki peran penting dan strategis untuk menjadi jurkam pemberantasan korupsi
di tengah-tengah masyarakat.
Karena dikenal dengan kaum intelektualnya,
maka mahasiswa harus lebih gemar dan gencar lagi menulis di media massa, jurnal
penelitian, majalah dinding, dan beragam sarana publikasi lainnya. Sehingga,
dunia pendidikan dipenuhi dengan ide dan semangat pemberantasan korupsi secara
berkesinambungan.
Oleh: Moh.
Hidayaturrahman, S.SosI
Mahasiswa Pasca
Sarjana Universitas Dr. Soetomo Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar