Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Dakwah Islam

NASEHAT UNTUK MUSLIMAH TENTANG JILBAB
 

PENDAHULUAN
Dewasa ini sering kali kita menyaksikan perkembangan mode di benjuru dunia yang begitu pesat . Multi mode, dari  terompah sampai istana mewah serta ornament-ornamen wah menggiurkan.
Dibalik mode ini kita juga mesti mengacungkan jempol atas perkembangan jilbab yang mulai dilirik dan diperhatikan untuk dipakai oleh wanita-wanita yang notabene beragama Islam. Wanita muslim semakin punya banyak pilihan dalam berjilbab, beragam jenis jilbab hadir dengan ragam dan motif yang berbeda. Memang banyak juga dari kalangan kita sendiri yang suka mencibir negative kepada saudari-saudari yang berbusana muslimah dan berjilbab. Mereka banyak beranggapan “ah, perbuatannya sama saja dengan wanita yang tidak berjilbab”. Dan banyak lagi anggapan-anggapan negative terhadap saudari kita. Sebenarnya kalau kita pikirkan dengan akal sehat tanpa menggunakan hawa nafsu maka kita bisa menemukan jawaban bahwa perintah dan larangan itu bukanlah satu, misalnya seorang muslimah memakai jilbab lalu disisi lain melakukan pelanggaran dosa. Perintah untuk berjilbab sudah dia laksanakan dan dia mendapat pahala terhadap perintah yang dilaksanakan tersebut sedangkan dosa yang dilakukannya berbeda dengan perintah yang dia laksanakannya itu.
                Venomena keliru yang sering dijumpai di masyarakat adalah ketika seorang wanita berjilbab melanggar aturan syar'i kemudian menganggap wanita berjilbab adalah hantu yang menakutkan dan tidak sedikit dari kita yang mengatakan percuma dia berjilbab.
Pemikiran-pemikiran negative harus kita waspadai karena dibalik semua itu ternyata musuh-musuh Islam membuat propaganda tentang kejelekan wanita ketika memakai jilbab. Anggapan itu antara lain yang berjilbab bakal susah cari kerja dan penghalang aktifitas, susah jodoh, susah berteman, jilbab identik dengan teroris, dan banyak lagi propaganda yang disebar oleh kaum kuffar termasuk pula kaum munafikin.
                Baik coba kita urai satu persatu anggapan negatif ini.
1.  Jilbab penghalang aktifitas/kerja.
Memang kalau kita perhatikan ada perusahaan ataupun kantor yang tidak mempekerjakan wanita yang memakai jilbab tapi itu menjadi hikmah bagi kita sendiri. Kalau ada perusahaan atau kantor yang mensyaratkan karyawannya tidak memakai jilbab perlu dipertanyakan atau memang ini adalah lumrah karena mungkin perusahaan ini adalah semacam bar, pembuat minuman beralkohol, tempat perjudian dan lain-lain yang tidak wajar kalau wanita muslimah bekerja didalamnya. Tapi tidak sedikit perusahaan yang mau menerima wanita muslimah yang berjilbab, perhatikanlah wanita karir yang memakai jilbab. Dimana-mana ada,  baik di bank-bank, restauran, rumah sakit, di kepolisian, dan banyak lagi yang lainnya. Jadi tidaklah benar bahwa jilbab penghalang aktifitas atau kerja.
2. Susah jodoh
Wanita jilbab susah jodoh adalah anggapan yang keliru, karena bisa kita buktikan sendiri bahwa yang berjilbab malah lebih duluan menikahnya ketimbang yang tidak berjilbab. Laki-laki cenderung memilih wanita tidak berjilbab, memang ada yang seperti itu. Tapi coba kita renungkan laki-laki macam apa yang mau dipilih. Rasulullah saw bersabda : Tungkahul mar’atu li arbain, limaaliha,walihasaabihaa, walijamaaliha, walidiinihaa, fadfar bizaatiddin taribat yadak (wanita itu dipilih karena 4 hal: karena hartanya, keturunannnya, kecantikannya, dan karena agamanya, pilihlah yang beragama kalau tidak kamu bisa celaka. HR. Bukhari.
Hadits ini bukan hanya ditujukan buat laki-laki, tapi untuk wanita juga.
3. Susah berteman
Anggapan semacam ini tidak usah dipedulikan karena wanita muslimah itu akan selalu banyak teman kalau dia mengamalkan agamanya, tentunya bukan gaul ala wanita yang terlalu bebas memilih teman tanpa batas.
4. Jilbab identik teroris
Kalau ada orang yang beranggapan jilbab adalah teroris maka kita perlu mempertanyakan ke Islamannya. Karena hanya di negara-negara Eropa, dan Amerikalah yang beranggapan seperti itu dan rata-rata mereka adalah orang kafir.

PERINTAH BERJILBAB
                Jilbab pada dasarnya bukan satu kewajiban ketika perintah jilbab belum diturunkan oleh Allah SWT kepada ummat Nabi Muhammad saw. Pada saat Rasulullah membina rumah tangga bersama Khadijah, ayat-ayat tentang perintah berjilbab belum ada, artinya sesuatu itu wajib kalau dilandasi dengan kalimat perintah tetapi sebaliknya kalau ibadah tidak ada perintahnya maka dia haram hukumnya, seperti dalam kaedah fiqh, al-aslu fil ibadah at-tahrim (asal dari ibadah itu adalah haram). Setelah Rasulullah saw menerima wahyu Allah SWT mengenai perintah berjilbab bagi wanita muslimah, maka tidak ada lagi kata untuk menolak atau mengelak terhadap jilbab itu sendiri, karena hukumnya sudah menjadi wajib.
Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur (24) : 30-31)

Sebab turunnya ayat ini menurut Muqatil bin Hayyan, bahwa ia berkata : “Telah sampai kepada kami riwayat dari Jabir bin Abdillah Al-Anshari, ia menceritakan bahwa Asma' binti Martsad berada ditempatnya di kampung bani Haritsah. Disitu para wanita masuk menemuinya tanpa mengenakan kain sehingga tampaklah gelang pada kaki-kaki mereka dan tampak juga dada dan jalinan rambut mereka. Asma' berkata : Sungguh jelek kebiasaan seperti ini.” Lalu turunlah firman Allah : Wa qul lilmu'minaatiyagdhudna min absyoorihinna (katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangan-pandangan mereka,” yakni dari perkara yang haram mereka lihat.  Sedangkan firman Allah yang berbunyi : Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” yakni, hendaklah kerudung (jilbab) dibuat luas hingga menutupi dada untuk membedakan model wanita jahiliyah.

                Imam bukhari meriwayatkan dari Aisyah RA, ia berkata : “Semoga Allah merahmati wanita-wanita Muhajirah generasi awal, ketika turun ayat Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” mereka merobek kain-kain dan berkerudung (berjilbab) dengannya.”

                Ibnu Abi Hatim dari Shafiyyah binti Syaibah, ia berkata: “Ketika kami berada disisi Aisyah RA dan berkata : “Kami menyebut wanita-wanita Quraisy dan keutamaan mereka. “ Aisyah berkata : Sesungguhnya wanita-wanita Quraisy memiliki keutamaan. Demi Allah, sungguh aku belum melihat wanita yang lebih utama dari wanita Anshor, yang paling membenarkan Kitabullah dan paling kuat keimanannya kepada wahyu yang diturunkan. Sungguh ketika turun firman Allah : Walyadribna bikhumurihinna ala juyuubihinna “ Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka,” suami-suami mereka pulang menemui mereka dan membacakan ayat yang diturunkan Allah ini kepada mereka. Para suami membacakan kepada istri, putri, saudara perempuannya dan kepada seluruh karib kerabatnya. Segera saja setiap wanita bangkit dan mengoyak kain-kain mereka lalu menutup tubuh mereka dengannya sebagai pembenaran terhadap Kitabullah dan keimanan kepada wahyu yang diturunkan Allah SWT dalam Kitab-Nya, merekapun berada dibelakang Rasulullah saw dengan mengenakan kerudung (jilbab) penutup kepala seolah-olah burung gagak hinggap diatas kepala mereka.(Tafsir Ibnu Katsir juz 16-19, jilid 6 Pustaka Imam Asy-Syafi'i)
Firman Allah SWT dalam surah yang lain :

Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ahzab (33) : 59)

SYARAT JILBAB SYAR’I
Ada beberapa syarat wajib yang harus dipenuhi agar pakaian disebut jilbab syar'i, antara lain :
1.  Menutupi kepala dan dada
2.  Tidak terlalu tipis
3.Longgar tidak ketat, tidak     memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh
4. Tidak sama dengan busana wanita kafir

PENUTUP
Semoga tulisan ini akan menjadi bahan bacaan yang bermanfaat terlebih lagi bagi kita yang sudah membacanya akan menyampaikan kepada para muslimah lainnya apakah dia saudari perempuan kita, istri kita, anak perempuan kita, mertua kita bahkan ke ibu kandung kita  sekalipun. Tugas penyampaian inilah yang disebut berda’wah. Ingat da’wah itu wajib, sampaikanlah ia dengan cara bilhikmah dengan cara yang lemah lembut. Tugas da’wah ini akan maksimal bila kita menyadari bahwa kita orang Islam yang masing-masing mempunyai tugas da’wah yang berbeda, semua tergantung pada kadar kemampuan. Wallahu a’lam.

Rusdianto As-Sabakanie,S.Ag


MERAJUT  PERSAMAAN DALAM PERBEDAAN
Oleh : Muzakkir, SH.I.,MH

            Sudah menjadi hukum  alam  (sunnatullah)  bahwa Allah SWT menciptakan  manusia dalam keragaman baik bangsa, suku, bahasa, budaya bahkan sampai jenis kelamin. Hal ini sangat jelas ditegaskan oleh Allah SWT sendiri dalam al-qur’an:

“sesungguhnya Allah SWT mencipatakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa dari jenis laki-laki dan perempuan agar mereka saling mengenal (satu sama lainnya)”
Jadi jelaslah bahwa memang sudah dari sananya perbedaan itu senantiasa menyertai manusia dalam proses intraksi kehidupan sosialnya. Selanjutnya bagaimana kemudian perbedaan yang ada menjadi satu kekuatan dalam merajut kebersamaan tentunya untuk tatanan harmonisasi kehidupan yang lebih baik dan bermakna.
            Ada semacam renungan untuk kita berfikir kenapa kemudian Allah menciptakan keragaman dalam diri manusia? Secara filosofis Allah SWT ingin agar manusia mampu berfikir secara arif dan bijaksana sehingga mampu memaknai makna kehidupan yang sesungguhnya. Dalam teori social manusia adalah ‘makhluk sosial’. Artinya bahwa manusia tidak mungkin hidup sendiri dan pasti butuh manusia laninnya. Maka disinilah pentingnya kebersamaan, dan tentu untuk menciptakan kebersamaan maka perlu saling mengenal, saling memahami, dan saling menghormati. Ujung ayat diatas sangat jelas bahwa adanya perbedaan tersebut agar manusia saling mengenal (lita’arafuu). Inilah nilai atas azas maha penting yang diajarkan Allah SWT kepada manusia, selaku makhluk yang dibekali fikiran untuk selalu berfikir bahwa ada pesan dan rencana Tuhan dibalik segala sesuatu yang Dia ciptakan.
            Selaku makhluk social nilai atau azas kebersamaan merupakan modal utama dalam mewujudkan cita-cita kehidupan. Karena dengan kebersamaan segala sesuatu bisa dengan mudah kita laksanakan, kita bisa melakukan perubahan mendasar dalam masyarakat kita bahkan peradaban sekalipun dapat kita wujudkan. Bukankah Nabi selaku suri tauladan sepanjang masa telah menorehkan jejak-jejak berharga yang hingga kini masih tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban umat manusia. Peradaban Madinah yang dilahirkan Nabi bersama-sama dengan sahabat beliau dari kaum Anshor dan Muhajirin (yang notabene adalah orang-orang miskin dan budak-budak) mampu mengungguli imperium sebesar Romawi dan Persia. Pertanyaannya kekuatan apakah yang dimiliki oleh Nabi dan para sahabatnya sehingga mampu membangun imperium madinah?
            Tentu saja nilai atau azas kebersamaan yang menjadi kekuatan (power) yang dimiliki oleh Nabi dan para shabatnya. Kebersamaan karena ikatan iman dan aqidah, kebersamaan karena ikatan emosi kemanusiaan selaku orang yang terusir dari Mekkah (bagi kaum muhajirin). Kaum Anshor selaku penduduk asli Madinah dengan tangan terbuka, hati yang tulus dan jiwa yang besar menerima kedatangan kaum muhajirin dan memperlakukan mereka selayaknya saudara sendiri. Disinilah hebatnya kaum Anshor membantu tanpa pamrih, begitu pula dengan kaum muhajirin dengan semangat dan jiwa besar tidak terpaku dengan bantuan kaum Anshor, tetapi mereka bangkit bekerja di kebun, berdagang di pasar. Sehingga walaupun mereka berasal dari suku yang berbeda, mereka tetap bahu membahu, saling membantu. Karena mereka sadar perbedaan itulah yang membuat mereka bersatu. Maka Nabi pun bangga dengan mereka.
            Inilah makna kehidupan social yang sesungguhnya yaitu ketika kita mampu merajut persamaan dalam perbedaan. Lahirnya persamaan karena ada perbedaan. Bukankah pelangi itu terlihat indah dan menawan tatkala ada warna-warni yang menyertainya. Begitu pula dengan hidup akan bermakna ketika kita saling menghargai setiap perbedaan yang terdapat dalam diri kita. Perbedaan bukan untuk diperdebatkan. Selamanya kita tidak akan pernah bangkit, tidak akan pernah maju manakala kita masih terjebak dalam perbedaan. Berbeda itu boleh, asal kita tempatkan pada tempatnya. Selama perbedaan yang terjadi masih bisa  dikomunikasikan, didiskusikan dengan kepala dingin sembari mancari solusi yang paling tepat, tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan manakala kita terbiasa untuk duduk bersama, bertukar pikiran, bermusyawarah, maka yakinlah pasti ada jalan tengah yang bisa kita sepakati.
                Nilai kebersamaan yang tulus seperti kaum Anshor membantu kaum Muhajirin terasa sulit kita temukan dewasa ini. Inilah  salah satu krisis yang menimpa bangsa kita, segala sesuatu dinilai secara pragmatis (keuntungan materi dan jabatan) ini dampak dari perilaku partai politik yang gagal mengemban fungsinya dalam memberikan pendidikan politik bagi masyarakat (foter education) sehingga menjadi semacam kultur yang tidak saja terjadi di kota-kota tapi juga sudah merambah kepelosok desa, kampung diseluruh Indonesia.
            Oleh karena itu, saatnya kita menyadari bahwa kita harus bangkit bersama, maju bersama. Kebersamaan (persatuan) tidak hanya jadi slogan di bibir dan terpampang di jalan-jalan, persatuan itu harus diwujudkan, dibuktikan dalam bentuk kerja konkrit yang tersusun rapi, sistematis dan melalui planning yang terukur dan dapat di evaluasi (keberhasilan dan kegagalannya) secara bersama-sama. Dengan demikian kita patut optimis bangsa kita, masyarakat dan pulau kita akan bangkit dan mengukir sejarahnya dengan tinta emas, sehingga kelak generasi penerus (anak cucu kita) akan bangga terhadap para pendahulu mereka yang meninggalkan semangat kebersamaan tanpa mempersoalkan perbedaan baik suku, golongan,ormas maupun partai politik. Inilah makna dari  merajut persamaan dalam perbedaan.
Wallahu ‘alam bisshowab
Atrium, Jakarta, 20 Januari 2011






PROYEK KEPULAUAN ANTARA CITA DAN REALITA
Taujih Robbani
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

DARI SINI BERMULA
Deklarasi 'kepulauan ibadah' adalah sebuah cita mulia yang memberikan warna indah dalam ralita hidup masyarakat kepulauan. Cita ini lahir dari ide brilian tokoh yang telah banyak menebarkan kontribusi ishlahiyatul ummah demi pembaruan dakwah islamiyah dalam lingkaran masyarakat kepulauan. Tidak banyak orang yang peduli dengan keadaan lingkungan sekitarnya apalagi perpikir untuk sebuah proyek besar keumatan. Kita sadar dan harus kita akui bahwa ini adalah satu anugerah Allah yang sangat berharga bagi kita generasi kepulauan yang terlahir dari rahim para nelayan.
Tujuan dari dakwah adalah mentransformasikan masyarakat yang jahiliyah (dalam hal ini belum tersirami oleh nilai Islam secara utuh) menuju masyarakat yang telah tercerahkan oleh cahaya Islam. Masyarakat seperti ini seringkali disebut sebagai masyarakat madani. Berbicara tentang masyarakat madani, akan merujuk pada tulisan KH. Mas’oed Abidin dalam tulisannya “implementasi adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”, beliau menuliskan , Madani mengandung kata maddana al-madaina artinya, banaa-ha yakni membangun atau hadhdhara yaitu memperadabkan dan tamaddana artinya menjadi beradab-yang nampak dalam kehidupan masyarakatnya berilmu (rasional) memiliki rasa (emosional) secara individu maupun secara kelompok serta memiliki kemandirian (kedaulatan/harga diri) dalam tata ruang dan peraturan-peraturan yang saling berkaitan. Diantara cirinya adalah terciptanya masyarakat yang taat ibadah, beradab tinggi, dan berakhlak yang baik, kerjsama dalam kepentingan dan kebaikan bersama.
Merujuk pada refrensi lain, pada tulisannya menuju masyarakat madani, Nurcholish Madjid mengatakan , Secara konvensional, perkataan "madinah" memang diartikan sebagai "kota". Tetapi secara ilmu kebahasaan, perkataan itu mengandung makna "peradaban". Dalam bahasa Arab, "peradaban" memang dinyatakan dalam kata-kata "madaniyah" atau "tamaddun", selain dalam kata-kata "hadharah". Karena itu tindakan Nabi mengubah nama Yastrib menjadi Madinah, pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat, atau proklamasi, bahwa beliau bersama para pendukungnya yang terdiri dari kaum Muhajirin dan kaum Anshar hendak mendirikan dan membangun mansyarakat beradab.
Sehingga bisa dikatakan, bahwa masyarakat madani adalah masyarakat berbudaya dan maju, modern, berakhlaq dan memiliki peradaban melaksanakan ajaran agama (syariah) dengan benar, karena Islam tidak dibatasi ruang-ruang masjid, langgar, pesantren, majelis ta’lim semata, namun menata gerak kehidupan nyata, tatanan politik pemerintahan, sosial ekonomi, seni budaya, hak asasi manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan masyarakat yang hidup makmur dengan aturan syariah dan melindungi hak-hak pribadi, kepemilikan dan hak-hak sipil masyarakatnya. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat madani adalah masyarakat kuat berpendidikan dan berpandangan kota meskipun mereka mendiami daerah perdesaan seperti nampak jelas dalam tatanan masyarakat Madinah al Munawwarah dimasa kepemimpinan Nabi Muhammad saw.
Seperti itulah bentuk masyarakat yang ingin di bangun di dalam masyarakat kepulauan, proyek dakwah di kepualauan adalah bagaimana mewujudkan satu tata nilai Islam yang utuh di dalam lingkungan masyarakat kepulauan. Dimana masyarakat kepulauan telah menjadikan Islam sebagai petunjuk jalan bagi kehidupan. Menjadikan Islam tidak hanya di masjid, akan tetapi telah menjadi bagian menyeluruh dalam sisi kehidupan masyarakat kepualauan. Islam berkembang di rumah, lingkungan tetangga, pos ronda, dermaga, pasar dan di seluruh penjuru kepualauan.

PROYEK BESAR UMMAT
Menciptakan peradaban dalam tatanan masyarakat kepulauan adalah proyek besar yang juga membutuhkan kerja besar. Ruang perubahan untuk pulau yang kita cintai ini tidak tergantung dari satu orang saja karena hal itu adalah sebuah proyek besar yang membutuhkan kerja kolektif, bukan kerja individu. Menciptakan ‘kepulauan ibadah’ adalah cita kita bersama, ini adalah proyek kita bersama, ini adalah tugas kita bersama untuk mewujudkannya menjadi sebuah realita yang akan memberikan naungan indah dalam kehidupan bermasyarakat di kepulauan kita ini. Untuk mewujudkan peradaban kepulauan itu bukan hanya lahir dari karya satu orang saja, bukan ide satu orang tapi ia adalah karya akumulatif antar generasi. Selama ini kita hanya menjadi pembaca dan pengamat sejarah dan belum tampil sebagai pelaku sejarah secara riil di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Dan yang lebih naïf lagi kita hanya bisa mengamati dan mudah memberikan stigma yang kurang baik terhadap cita-cita yang belum terwujud, walaupun sebagian masyarakat memaknainya sebagai cita-cita yang gagal.
Bukanlah Qudwah hasanah kita, Rasulullah Muhammad Saw memberikan kabar gembira bahwa orang yang baik itu adalah yang banyak memberikan kontribusi kebaikan terhadap manusia yang lainnya.  Yang lebih meyakinkan kita adalah firman Allah dalam surat Saba’ ayat 46.

Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri

Bergaul dan berinteraksi dengan masyarakat serta aktifitas menebar citra Islam adalah fenomena yang menjadi realita dakwah para nabi. Mereka tidak diutus di hutan belantara atau di gua-gua tanpa penghuni melainkan di tengah kehidupan masyarakat yang sarat dengan tantangan yang kompleks dan beragam bentuknya. Selain Karena alasan kualitas interaksi sosial, alasan lainnya adalah karena publik memberikan kepercayaan terhadap dakwah dan para dainya dengan skill intelektual yang berkualitas dan jiwa trust ‘n respect yang memukau.
Dalam Manhaj Haraki, Syekh Munir Ghadban menceritakan sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq sebagai seorang yang ditokohkan karena kredibilitas sosial dan kekuatan intelektualnya. Bahkan jauh sebelum Nabi Muhammad lahir, terdapat sosok Dzulqarnain, politisi muda yang dipercayai meminpin karena punya kemampuan komunikasi publik sangat baik ketika berhadapan dengan kaum yang sulit berkomunikasi qauman la yakaduna yafqahuna qaulan (18:93) Dzulqarnain dipercaya mengurusi urusan publik karena intelektualitasnya yang memukau.
Ibnu Abbas r.a dengan intelektualitasnya yang memukau sukses mengajak taubat 2/3 kaum Khawarij, bukan dengan pedang, tapi dengan apa resep keberhasilannya, beliau menjawab  niltul 'ilma bilisanin sa-ul wa qalbun aqul, “Aku dapatkan ilmu ini dengan lisan yang kritis dan akal yang nalar”.
Ketika kita memiliki keinginan yang mulia untuk sebuah perubahan kearah yang lebih baik barangkali yang perlu menjadi bahan renungan kembali bagi kita semua adalah dengan melakukan muhasabah dakhili (introspeksi internal) untuk mencapai cita-cita yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Imam Ali bin Abi Thalib r.a. pernah mengatakan bahwa kebenaran yang tidak terorganisir akan dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisisr. Mampu mengorganisir setiap rencana insya Allah akan menjadi jalan menuju kesuksesan. Orang bijak mengatakan memanaj sesuatu adalah separuh dari kesuksesan.
Dakwah Islam ini tidak hanya terbatas pada ruang lingkup wacana belaka tetapi ia adalah perpaduan dari tiga langkah sebagai unsur yang harus dan mesti ada di dalamnya, yaitu:  
pertama, Pengalaman masa lalu. Ini dasar pijakan para aktivis dakwah yang ditarik kemudian dijadikan sebagai ibrah dalam langkah-langkah selanjutnya. Allah Swt berfirman "Ambillah pelajaran hai orang-orang yang berfikir." (59:2). Pelajaran/ ibrah dari peristiwa masa lalu tersebut kemudian dikaitkan dengan yang kedua, Realita masa kini. Kondisi yang hadir di hadapan kita saat ini adalah realita yang harus kita jalani. Orang bijak mengatakan 'jangan main-main dengan cita-cita karena suatu saat ia akan menjadi kenyataan'. Realita saat ini biasanya merupakan bagian dari proyek dan rencana dari berbagai pihak. Langkah selanjutnya yang perlu kita lakukan adalah yang  
ketiga, membuat proyek untuk masa yang akan datang. Allah membimbing kita dengan firman-Nya "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok." (59: 18).

MENIKMATI KESUKSESAN
Jika kita mendapati adanya cita-cita yang belum berwujud menjadi kenyataan mungkin diantara penyebabnya karena diantara kita masih egois dengan pribadi, golongan dan kelompok kita serta belum bisa memberikan kepercayaan kepada orang lain, dan seringkali kali menafikan Allah dalam setiap harapan kita.
Intropeksi setiap pribadi paling tidak menimbang sudah berapa banyak kontribusi kita terhadap orang lain sehingga kita mudah memberikan stigma kurang baik terhadap orang lain. Rasulullah saw. pernah bersabda "berbahagialah orang yang sibuk mengintropeksi dirinya daripada mengurusi kesalahan orang lain".
Sekali lagi, mewujudkan 'kepulauan ibadah' adalah cita-cita dan proyek kita bersama, dengan harapan terciptanya masyarakat yang taat ibadah, berakhlak mulia, menebar pesona keakraban dan kedamaian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat. Mari menggapai sukses untuk proyek keumatan dengan banyak berdo'a kepada Allah, ikhlas dalam bekerja, banyak berkontribusi, berfikir positif, dan senantiasa menjadi mentari bagi lingkungan dimanapun kita berada. 
Syarif Ibnu Arfan




KAPAN KEBERKAHAN MENEMANI HIDUP KITA

Buletin Al-Jazeera, edisi 01/th.1/2009
Dan berdo'alah: "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat." Surah Al Mu'minun:29

PENTINGNYA BARAKAH.
Islam, satu-satunya agama penebar berkah. Ajaran lain tak mengenal kamus berkah. Berkahnya terhapus oleh kekufuran dan kemusyrikan mereka. Amal usaha orang non-Islam sia-sia karena tidak ada keberkahan yang menyertainya. Islam memandang bahwa barakah tersebut adalah abwabul-khayrat, pintu-pintu kebaikan, yang menghimpun berbagai kemashlahatan hidup. Imam Al Munawi rahimahullah (w.1031 H) dalam kitab A-Tauqifnya menyebut barakah sebagai ghâyatul khairi, puncak kebaikan. Abu Manshur At-Tamimiy (w.429 H) dari a'lamus-Syafi'iyah menyimpulkan al-barakatu hiyas-sa'âdah, keberkahan itu tiada lain adalah kebahagiaan itu sendiri.

Maha Suci Allah yang telah menurunkan al-Islam, mengutus Nabi-Nya yang mulia dan membekalinya dengan kitab mubarakah; kitâbun anzalnâhu ilayka mubârakun (Shad:29). Allahu Ta'ala sebagai satu-satunya Rabb yang kita ibadati dengan iyyakana'bu wa'iyyakanasta'in adalah Munzilul Barakah; Zat Yang Menurunkan Keberkahan, bahkan berkah itu sendiri adalah bagian dari asma'ul husna, nama dan sifat-Nya nan agung yang dari diri-Nya keberkahan itu berasal dan kembali. Nabi Muhammad s.a.w mendo'akan keberkahan atas ummatnya; "allâhuma bârik li'ummatiy fiy bukuwrihâ, Ya Allah karunia ummatku keberkahan di pagi harinya. Shahih Tirmidzi no.:1212.

Rasulullah s.a.w sebagai suami bahkan pernah mendoakan secara khusus keberkahan hidangan istrinya 'Aisyah RAh saat sarapan pagi, dan menyebutnya sebagai tradisi para Nabi. Ummu Sa'ad, ibunda Sa'ad bin Mu'adz RA bercerita, saat itu aku lagi bertamu ke rumah 'Aisyah RAh, lalu Nabi s.a.w mendoakan keberkahan hidangan isterinya. Perhatikanlah juga salam jumpa dan salam pisah kaum muslimin; semuanya bermuara pada barakah; as-salâmu'alaikum warahmatullâhi wabarakâtuh.

HAJAT MANUSIA TERHADAP BARAKAH.
Manusia sangat berhajat pada barakah; sebab manusia ini makhluk yang serba kekurangan, kemampuannya terbatas, tidak sabar menahan keinginan, dan tidak bisa mengerem diri di hadapan nafsu syahwatnya, bal yuriydul-insânu liyafjura amâmah; bahkan nafsu manusia itu maunya jadi komandan, al-Qiyamah:5. Padahal, maksud hati memeluk gunung, namun apa daya tangan tak sampai.

Maka datanglah Islam menuntun penyaluran hajat manusia yang tak terkendali itu, hâjatul afrâd wal-mujtama'ât, baik perseorangan maupun khalayak umum melalui saluran yang baik dan benar. Kuncinya pada usaha (kasab), ikhtiar, do'a dan tawakkal, sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya, sehingga tugas harian setiap muslim dijamin ada barakahnya dan tidak terbuang sia-sia, tanpa pahala. Bukankah manusia ini makhluk yang tak mau rugi?



Contohnya, setiap hari manusia makan, minum dan melakukan aktifitas. Dan setiap kali melakukan aktifitas itu, Islam menuntunnya dengan ucapan Basmalah dan Hamdalah supaya pekerjaan kita itu punya nilai pahala dan keberkahan. Dari pembiasaan ucapan basmalah dan hamdalah ini diharapkan agama bisa berperan bahkan berdaulat dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena semakin tinggi ketaatan kita menegakkan agama, semakin tinggi barakah yang bisa diraih. Istiqamah jalan paten merasakan hidup berkah.


Bisa dibayangkan, setiap hari orang tidur. Manakala ia lupa baca do'a, itu berarti ia mabit satu selimut setiap malam dengan ditemani oleh syetan. Syetan tadi menginap di Khaisyumnya (pangkal hidung) dan mengencingi telinganya, di saat ia terlambat sholat shubuh, apatah lagi jika ia sama sekali tidak sholat, total orang itu berada dalam belitan 70 ikatan syetan. (Dari kitab Talbis Iblis oleh Imam Ibnul Jauzi (w.597 H). Beirut:Darul Fikri, 1421 H/2001 M)

Maka tidak sepatutnya seorang ibu yang memasak didapur dan menyediakan makanan untuk dinikmati oleh keluarga tidak membiasakan diri dengan basmalah.Begitu pula dengan Ayah/suami yang setiap hari mencari sesuap nasi untuk anak-isteri, tidak sepatutnya melupakan Asma Allah sebagai Maha Pemberi Berkah. Ucapan "bismillahi awwaluhu wa'akhiruhu" bagi mereka yang lupa baca basmalah sebelum makan, menunjukan bahwa barakah "barang mahal" dan karenanya tidak boleh hilang dalam hidup dan kehidupan kita.

Imam As-Syafi'i rahimahullahu (150-204 H) seperti dikutip oleh Imam Nawawi dalam Shahih Muslim mengatakan; syetan selalu nongkrongi manusia seperti selagi makan, buang hajat, tidur, saat hubungan suami-isteri, sholat, masuk dan keluar rumah, safar dan pulang safar, dan lain-lain; jika manusia lupa baca asma Allah, maka yang jadi pemenangnya adalah syetan, dan keberkahan pun jadi hilang. Dari itu, apapun tugas dan pekerjaan kita, hendaknya tidak lepas dari ikatan agama biar hidup ini jadi berkah. Berkah yang mengantarkan rezki; yang tadinya sedikit terasa menjadi banyak, nikmat yang tadinya sepele menjadi berbobot. Berkah yang meliputi umur, usaha, pekerjaan, rumah, kendaraan atau tempat tinggal. Sebab keberkahan itu kunci kebahagiaan hidup dan gerbang husnul khatimah.

BERKAH TEMPAT.
Berkah itu sifatnya jama'i; buat semua. Nilai manfaatnya dinikmati secara meluas, hingga meninggalkan jejak, bekas, warisan turun-temurun untuk anak cucu, hingga pada wilayah yang kita diami. Seperti berkahnya dua kota suci al-Haramain; Mekkah Al Mukarramah dengan Masjidil Haramnya dan Madinah Al Munawwarah dengan Masjid Nabawinya. Kota Mekkah makmur sejahtera oleh do'a Nabi Ibrahim 'alayhissalam, sementara kota Madinah makmur dan berkecukupan lantaran do'a Rasulullah s.a.w terhadap penduduknya.

Ahli Mekkah dulunya adalah para Muhajirin berprofesi sebagai pedagang dan ahli Madinah adalah orang-orang Anshar yang umumnya adalah petani. Dua penduduk kota suci ini, Nabi s.a.w tanamkan kejujuran dalam sukatan dan timbangan (al-mikyal wal mizan), lalu mempersaudarakannya dalam jihad dan mujahadah, dalam perjuangan dan pengorbanan, dalam ketaatan dan kesetiaan melalui peristiwa Mu'akha' (ikatan persaudaraan) Muhajirin dan Anshar. Dua kota suci ini adalah lambang peradaban dunia yang Allah jaga dari krisis ekonomi, dari malapetaka, dari bencana alam. Allah kurung dengan Malaikat dari setiap penjuru, sehingga Dajjal tak bisa memasukinya. Shahih Muslim no.:3340-3342 dari Abu Hurairah dan Sa'id bin Malik.



Lalu bagaimana dengan wilayah kita sendiri, mampukah kita secara bersama-sama mendatangkan berkah ke daerah kita, sehingga penduduknya jadi makmur-sejahtera, aman-sentosa, jauh dari bencana dan malapetaka, bebas dari konflik dan angkara murka, tidak ada onar dan huru-hara. Marilah kita mencontoh ahli Mekkah dan ahli Madinah dan negeri lain yang diberkati, cermin keteladan dari salafus-shalih.

HIDUP BERSAMA KEBERKAHAN.
Ahlul ilmi mengatakan, bahwa keberkahan itu kunci kekayaan dan kutub kebahagiaan. Biar kata miskin, namun terasa bagai orang kaya lantaran nilai berkah. Berkah membuat hidup menjadi berkecukupan, meskipun secara angka masih kembang-kempes. Kuncinya; selagi kaya kita menjadi al-ghaniyyu's-syâkir; orang kaya yang bersyukur. Selagi miskin menjadi al-faqîru's-shâbir; orang miskin yang bersabar. Selagi pas-pasan menjadi orang yang qanâ'ah; merasa berkecukupan. Sabda Nabi s.a.w:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ ، وَرُزِقَ كَفَافًا ، وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ.

"Sungguh berbahagialah orang yang masuk ke dalam dinul Islam ini, lalu diberi rezki yang mencukupkan serta dia merasa cukup terhadap karunia Allah terhadapnya." Shahih Muslim (2390) dan imam lainnya dari 'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash.

Karena itu tak ada artinya kaya, jika tidak berkah. Harta berlimpah tiada guna, jika tak mendatangkan keberkahan pada diri, keluarga, dan sabilillah. Usia tua tak berguna, jika tidak berkah. Rumah mentereng tiada faedah, jika tidak mendatangkan berkah. Tidak ada arti dan hakekat hidup yang kita jalani ini, jika kosong dari keberkahan.

Harta dipandang berkah antara lain jika jelas jalur dari mana dan kemananya; min ayna iktasabahu wa fiyma anfaqahu. Berkah rumah manakala sakiynatun wa huduw'un; nyaman dan tentram. Barakah makanan adalah menyehatkan dan mencukupkan. Barakah anak pada husnul mu'amalatnya; kepada Allah ia adalah khayrul bariyyah, manusia terbaik. Kepada Nabinya ia adalah khairu ummat. Kepada orang tuanya ia birrul walidaein, berbakti pada orang tua. Kepada lingkungan sekitarnya ia berakhlakul karimah. Berkah umur adalah thâla 'umruhu wa hasuna 'amaluhu, panjang umur dengan bobot amal shalih yang berkualitas. Berkah waktu adalah tetap beribadah meskipun sibuk, capek atau letih. Berkah ilmu adalah ketika mendatangkan ma'rifat pada Allah, rasa khasy'yah seperti takutnya para ulama'ul-'amilin. Dan berbuah ilmu'n-nafi', ilmu yang membawa manfaat dunia-akhirat. Imam Daqiqil ’Ied (625-702 H) berkata: ”barakah itu bisa tertuju pada dua aspek, urusan dunia maupun urusan akhirat atau kedua-keduanya sekaligus.”

HIDUP TANPA BERKAH.
Salah satu petaka akhir zaman adalah dicabutnya barakah dari penduduk bumi dengan berbagai sebab. Imam Al Hindi (w.975 H) pemilik kitab Kanzul 'Ummâl Fi Sunanil Aqwal wal Af'al mencatat berbagai faktor; ada yang karena sebab syirik dan penyimpangan, ada yang karena bid'ah dan kesesatan, karena kedzaliman dan kesombongan, karena kemaksiatan yang dilegalkan, tindak kejahatan yang didiamkan. Karena ketergelinciran Ulama dan kebodohan ummat, sehingga hukum halal-haram dilanggar, perintah dan larangan diinjak-injak. Agama disepelekan, urusan dunia dinomorsatukan. Saat itu, kekayaan melimpah-ruah, namun manusia serba kekurangan, mencari harta duniawi bagai minum air laut. Na'ûdzu billâhi mindzâlik.

Drs.H.Syamsul Bahri, MH

Ekskutif Secretary Majlis Fatwa DDII