Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Kamis, 14 April 2011

DA’I MINUS KETELADANAN

Buletin Al-Jazeera, edisi 15/th.3/2011

“Satu tindakan dan prilaku lebih fasih daripada seribu nasihat yang diucapkan”.
            Kalimat bijak di atas menggambarkan betapa pentingnya keteladanan bagi para dai. Tak hanya dai tapi juga orangtua dan para pemimpin sangat penting memberi teladan yang baik bagi anak-anak dan orang yang dipimpin. Pun demikian dengan para guru, yang katanya digugu dan ditiru. Sangat perlu sekali memberi keteladanan kepada siswa dan peserta didiknya. Jika tidak dilakukan, maka peribahasa yang menyatakan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari,” akan berubah lebih dahsyat lagi menjadi “guru kencing berdiri, murid mengencingi gurunya,” begitu budayawan Madura, Zawawi imron berkelakar.
            Teladan, kata yang simpel dan sederhana, namun begitu sulit untuk diterapkan sekali, baik oleh para dai, orang tua, pemimpin maupun guru. Namun ia bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk diterapkan. Sebab keteladanan juga identik dengan kemanusiaan. Artinya, selama itu manusia, pasti memiliki potensi untuk memberi keteladanan, sebagaimana memiliki potensi untuk tidak memberi teladan yang baik. Dengan begitu, sebuah keteladanan menjadi begitu dinamis dan selalu bergerak dari waktu dan ke arah mana saja ia dikendalikan oleh manusia.
Cukup satu yang diperlukan dalam kontek keteladanan ini, konsistensi dalam bertutur kata dan berbicara. Jika dari awal bicara sesuatu haram maka sampaikan kapanpun apa yang disampaikan itu tetap haram. Tidak kemudian menjadi halal, makruh dan mubah, karena ada suatu kepentingan. “Meski langit runtuh, maka hukum itu tetap harus tegak,” begitu adagium dalam hukum positif di negara kita. Artinya, meski siapapun yang melakukan hal yang haram itu tetap saja ia haram meski tetangga atau teman dekat kita sendiri. Tentu saja kita tidak mengenal kalau ada pemimpin, dai yang kata orang Jawa “wengi tempe, isuk tahu,” Malam bilang tempe, paginya bilang tahu. Kan yang repot juga nantinya anak buah, anak murid dan anak-anak. Yang benar dari omongan orang yang harus dianut itu yang mana yang malam ato yang paginya.  
Tak hanya konsistensi dalam setiap omongan, namun diperlukan juga sinkronisasi antara kata dan perbuatan. Antara apa yang disampaikan dengan apa yang dikerjakan seiring sejalan, tidak bertolak belakang. Saat berpidato para pemimpin dan dai mengajak kaum dan rakyat menjauhi dan memerangi korupsi, namun pada saat menandatangani sebuah surat penting meminta fee dan bayaran. Kalau itu yang terjadi maka tidak konsisten namanya. Sikap konsisten dalam keteladanan berkata dan berbuat ini dinanti dan diharap selalu oleh umat, rakyat dan orang lain. Ia selalu dinanti dan ditunggu sampai kapanpun juga. Karena itu sikap konsisten dalam memberi keteladanan diharap sampai akhir hayat. 
            Hal ini pula yang membuat banyak pihak menyebut, lebih baik mantan maling daripada mantan ustadz atau mantan santri. Sebuah kata yang cukup pedas untuk didengar dan direnungkan. Tapi itu sebuah gambaran betapa menyimpangnya orang yang tidak konsisten dalam hidup.
            Sebuah ilustrasi yang menggambarkan betapa pentingnya keteladanan bagi para dai, dapat disimak pada kisah berikut. Seorang dai, tepatnya penceramah agama diminta untuk menyampaikan tema seputar keutamaan berinfak dan beramal. Namun sang dai selalu menolak setiap kali ada jamaah yang menyampaikan permintaan untuk berceramah seputar tema infak dan shadaqah. Setelah didesak, kenapa sang dai tak mau menyampaikan tema tersebut, dengan agak berat hati dia menyampaikan alasannya. “Bagaimana saya mengajak orang lain untuk berinfak dan bersedekah, sementara saya tidak memiliki apa-apa untuk diinfakkan dan dishadaqahkan,” begitu penjelasannya.
            Ilustrasi lain, pada sebuah seminar kesehatan, seorang dokter spesial penyakit dalam melakukan presentasi soal bahaya dan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh rokok. Mendapat penjelasan yang demikian luar biasa dan ilmiah, para peserta seminar banyak yang merinding dan berpikir ulang untuk merokok. Malah tak sedikit peserta yang membulatkan tekad untuk berhenti merokok mulai saat itu juga. Waktu jeda istirahat pun tiba, para peserta yang biasa merokok dan minum kopi mulai kebingungan, di satu mereka sudah bertekad mau berhenti merokok, namun di sisi yang lain, rasa kecut di lidah terus mengganggu. Di tengah kebingungan itu, peserta kaget kaget bukan kepalang menyaksikan di sudut ruang coffee break, dengan mata kepala sendiri menyaksikan sang dokter yang pada saat acara seminar begitu jelas menjelaskan bahaya dan penyakit akibat merokok, dengan nikmat dan santainya menghisap sebatang rokok. Tanpa ada yang menyuruh, peserta seminar kemudian menyulut batang rokok yang sejak tadi tersimpan di dalam saku. 
            Saat ini, dan disini, di sekitar kita, umat, anak-anak, dan rakyat haus akan keteladanan dari para dai, orang tua, guru dan para pemimpin mereka. Pemimpin dalam skala formal maupun nonformal dan informal. Keteladanan menjadi oase yang mahal harganya di tengah gurun pasir, padang sahara keringnya air mata keteladanan.
            Hanya saja kita pun berharap kepada umat, bangsa, siswa dan anak-anak, jangan berharap para orang tua, pemimpin, guru dan dai akan sama dengan para nabi, syaikh, Nabi Ibrahim, atau Lukmanul-Hakim yang begitu bijak kepada anak-anaknya. Sebab hal itu tidak akan mungkin terjadi. Dan jika kita berharap begitu, maka kita akan menjadi orang-orang yang kecewa, frustasi atau malah stress, karena berharap sesuatu yang tidak kunjung mewujud dalam kehidupan nyata.
            Hal itu tidak akan mewujud dalam kehidupan nyata, sebab zamannya memang jauh berbeda. Nilai ideal keteladanan yang kita harapkan, harus kita ukur dengan realitas yang ada di lingkungan sekitar dan dunia nyata kita.
            Jadi menjadi baik 100 persen pada saat ini sesuatu hal yang sulit sekali untuk diwujudkan. Akan lebih mudah ketika para dai, pemimpin, orang tua, dan guru berusaha untuk menjadi orang baik, untuk kemudian ditiru oleh rakyat, murid, anak-anak dan umat untuk pula mengikuti jejak untuk berusaha untuk menjadi orang baik.
            Jika setiap orang, terutama dai dan pemimpin selalu dan terus-menerus menjadi orang baik dan memberi keteladanan, maka dunia ini mungkin akan menjadi indah, sebab dipenuhi dengan warna-warni dan gemerlapnya gemintang keteladanan setiap orang, terutama para pemimpin dan dai.
            Manfaat lebih jauh adalah, jika keteladanan para pemimpin dan dai diikuti oleh orang-orang di belakangnya, maka pahala akan terus mengalir kepada orang yang memberi teladan, selama kebaikan dan keteladanan itu tetap dan terus dikerjakan oleh orang lain.
Itulah makna dari sabda Nabi yang mulia:

"Barangsiapa membuat sunnah yang baik, kemudian sunnah itu menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan pahala amalnya secara sempurna beserta pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa membuat sunnah yang buruk, kemudian sunnah yang buruk itu menjadi teladan, maka ia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya secara sempurna beserta dosa orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun." HR. Ibnu Majah [204] dari Abu Hurairah, Shahihul Jami' no.: 6014

Hidayat Rahman, S.Sos.I



KOTAK  INFAQ  AL-JAZEERA
1.   Masjid At-Taqwa PLN Pusat 
      Jakarta
2.   Bapak Ibnu Walid, Batam
3.   Hasan Bashri, Batam
4.   H.Bahrut Tamam, Sapeken
5.   Ustad. H. Firdaus Zakir,   
      Palembang
6.   H. Alwin, Jakarta
7.   H.M.Salim Mattang, Sapeken

Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke seluruh Kepulauan Sapeken dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin ini.
Salurkan bantuan anda ke      Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Tidak ada komentar: