Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Senin, 06 September 2010

KEPEMIMPINAN ISLAM

Buletin Al-Jazeera, edisi 04/th.2/2010

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَامَ الدَّجَّالِ سِنِينَ خَدَّاعَةً يُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ وَيُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ وَيَتَكَلَّمُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الْفُوَيْسِقُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ ( حم هـ ك ) عن أبي هريرة . تحقيق الألباني ( صحيح ) انظر حديث رقم : 3650 في صحيح الجامع .

Anas bin Malik ra meriwayatkan, Rasulullah s.a.w bersabda: "sesungguhnya menjelang tahun-tahun datangnya dajjal akan muncul para pengkhianat, di mana orang yang jujur didustai, dan para pendusta malah dikatakan orang-orang yang jujur. Orang jujur dikhianati, dan pengkhianat disebut sebagai orang jujur. Pada saat itu akan tampil para ruwaibidhah. Sahabat bertanya: "apakah ruwaibidhah itu?" Nabi s.a.w menjawab: "yaitu orang-orang fasiq yang suka bicara urusan orang banyak." (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Imam Malik. Hadits ini dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam Shahihul Jami' no.: 3650 dari dua jalan, yaitu Abu Hurairah dan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhuma).

KEPEMIMPINAN ITU ALAT BUKAN TUJUAN.
Islam adalah agama yang sempurna, di antara kesempurnaan Islam ialah mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah s.w.t (hablu'n-minallah), maupun hubungan dengan manusia (hablun-minannas) termasuk di antaranya masalah kepemimpinan.
Dalam Islam, kepemimpinan adalah kewajiban terbesar (wadzifah kubrâ) yang wajib ditegakkan oleh setiap Muslim; kapan dan dimanapun. Sifat amanah dan tanggungjawab, jujur dan benar, cerdas dan berbudi luhur adalah di antara sifat yang mesti ada pada setiap muslim ketika mengemban amanah kepemimpinan, sebagai apapun dia. Nabi s.a.w meletakan kewajiban kepemimpinan itu dalam hadits Kullukum râ'in wa kullukum mas'ûlun 'an ra'iyyatih; setiap kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggunggjawaban atas kepemimpinan kalian itu.

Menjadi pemimpin itu dimulai dari sukses memimpin diri sendiri, yaitu bagaimana menjaga hidayah dan mengendalikan nafsu angkara murka, rabbanâ lâ tuziq-qulûbanâ ba'da izhadaytanâ. Nabi s.a.w bersabda; mulailah dari dirimu sendiri, ibda' binafsik. Ahli-ahli Hikmah mengatakan, antal-mubtadi' wa minkal-munthaliq; engkau adalah pelopor dan dari dirimu bermunculan segala kebaikan. Sukses memimpin juga dimulai dari kepemimpinan dua orang; yaitu suami-isteri, ar-rijâlu qawwâmûna 'ala'n-nisâ'. Sukses memimpin juga bisa dimulai dari kepemimpinan tiga orang seperti amir safar, sebelum akhirnya menjadi imam shughra dalam sholat; baru melangkah menjadi imam kubra pada wilayah kekuasaan yang lebih luas.

Kepemimpinan menjadi hal yang mesti, karena kepemimpinan itu sendiri adalah bayang-bayang Allah di muka bumi, sehingga ada ulama mengatakan: “60 tahun di bawah pimpinan/ imam yang jahat/lalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa pemimpin.” Ungkapan ini dikonversi dari hadits Nabi s.a.w: "satu sanksi hudud yang diterapkan di muka bumi, lebih baik bagi seluruh penduduk bumi, ketimbang mereka dihujani selama 30 pagi. (HR. An-Nasa’i dan Ibnu Majah, Shahihul Jami no.:3130) Jadi, kepemimpinan dalam Islam itu sangat penting, bukan hanya merupakan amanah tapi bahagian tak terpisahkan dari keimanan dan pertanggungjawaban dunia-akhirat.

Bagi Ahlus Sunnah wal Jama'ah, kepemimpinan adalah alat, bukan tujuan. Ini perlu ditegaskan supaya proses memilih dan menjalankan roda kepemimpinan tidak menghalalkan segala cara. Karena itu, Islam menggabungkan antara kepemimpinan agama sebagai bagian dari hablun minallah dan kepemimpinan Negara sebagai bagian dari hablun minannas, menyatu antara kepemimpinan imam Shalat dan kepemimpinan imam Negara. Dalam Islam seorang kepala Negara menyatukan antara imamah dalam istana dan imamah dalam masjid. Maksudnya, dia ahli sekaligus 'alim. Kepemimpinan Islam tidak mengenal dikhotomi apalagi sekularisasi. Islam itu Dien wa Daulah, 'Aqidatan wa minhajan, Syari'atan wa Akhlaqan, 'Ilman wa 'Amalan, dan seterusnya.

Kepemimpinan Islam pernah berjaya dan menjadi kiblat 2/3 dunia dari abad ke-6 sampai abad ke-18 M. Dan sejak awal konsentrasi imamah bertumpu pada kemaslahatan ganda urusan ummat; yaitu poros dunia dan poros akhirat. Untuk kepentingan semua ini, imamah menghajatkan aturan syari'at. Karena itu pola imamah Islam adalah pola nubuwwah atau pola Khilafah 'ala minhajin nubuwah. Imam Ibnu Taimiyah (w.728 H) menyatakan:”Rasulullah dan para khalifahnya memimpin manusia dalam bidang agama atau dunia mereka sekaligus, tapi setelah itu muncul pemisahan kepemimpinan. Para jenderal mengatur dan mengurus kepentingan manusia dalam bidang keduniaan dan keagamaan secara seremonial, sedangkan para ulama memimpin manusia dalam bidang ilmu dan agama.” (sumber: Majmu’ Fatawa, Juz 11, hal. 551-552)

Mengingat pentingnya kepemimpinan dalam Islam sebagai bagian dari iman dan amal shalih, maka Allah Tabaraka wa Ta'ala tidak membiarkan hambanya untuk mencari dan mengangkat pemimpin dengan caranya sendiri atau atas kepentingannya sendiri, tanpa kriteria dan patokan yang jelas dari Al-Qur'an dan As-Sunnah As-Shahihah. Karena jangankan menjadi pemimpin Negara, jadi pemimpin rumah tangga saja punya 4 syarat yang sangat ketat, syarat keturunan, kekayaan, kecantikan dan yang paling kuat syarat agama. Dalam ilmu Fikih dilaporkan, setidaknya ada beberapa syarat seorang pemimpin, yaitu: (1) Syarat agama yakni Islam, (2) Syarat gender harus dzukuwrah (laki-laki), (3) Syarat usia harus 'aqil-baligh, (4) syarat kesehatan; tidak gila dan tidak mengalami disfungsi panca indera antara lain cacat mata, cacat telinga dan cacat bicara serta tidak lumpuh. (5). Syarat keturunan yakni orang merdeka, bukan budak atau tawanan atau berada dalam tekanan pihak asing.(6) Syarat kepribadian; yakni orang 'adil bukan fasiq, (7) Syarat keprajuritan, yaitu syaja'ah, (8) Syarat kapabilitas, yaitu ahlul ilmi. Rujuk syarat-syarat ini dalam Al-Khilafah Fi Al-Khadharah Al-Islamiyah, Dr.Ahmad Ramadhan Ahmad. Jeddah:1403, hal.:49-52)

Kepemimpinan sebagai bagian dari iman dan amal shalih inilah yang tampaknya kurang disadari oleh semua pihak, baik oleh pihak pemimpin atau yang dipimpin, oleh calon pemimpin yang akan dipilih atau pihak pemilihnya sendiri. Antara calon pemimpin dan masyarakat pemilihnya atau team suksesnya lebih berpikir bagaimana cara untuk menang dan mengalahkan calon lain. Hasilnya adalah petaka konflik hasil Pilkada di berbagai daerah yang menuai anarkhisme akhir-akhir ini dengan kerugian yang tidak sedikit.

Sebagai bagian dari iman dan amal shalih, sejatinya sang calon pemimpin itu sendiri berpikir sebelum melangkah apakah dia memang layak untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin? Kita khawatir warna kepemimpinan kita kedepan mirip pasar bursa efek yang penting punya modal baju kaos dan atribut kampanye, seseorang lalu mencalonkan diri sebagai candidat.

Dari Jabir bin 'Abdullah ra, bahwasanya Nabi s.a.w berpesan kepada Ka'ab bin 'Ujrah, "semoga Allah melindungimu dari kepemimpinan orang-orang yang bodoh." Ka’ab bertanya : Apakah kepemimpinan orang-orang bodoh itu? Beliau bersabda: "Yaitu para pemimpin sesudahku yang tidak mengikuti petunjukku dan membuat undang-undang di luar sunnahku. Siapa yang membenarkan kedustaan mereka dan menolong kezaliman mereka, maka mereka bukan golonganku dan bukan umatku." (HR. Ahmad [3/321,399] no.: 14494,1535]; Imam Abd ibn Humeid [1138]; Imam Ad-Darimi [2776]. Berkata Imam Al-Haitsami dalam Majma' Zawa'id [5/247], rawi hadits ini orang terpercaya).

PEMIMPIN MASA DEPAN.
Profil pemimpin masa bagi saya memiliki korelasi antara kemampuan intelektual dan kepribadian antara ulama dan zu'ama, antara imam shalat dan imam Negara. Ulama dan intelek Muslim ini akan melahirkan masyarakat yang memiliki basis ilmu, iman dan amal; pribadi yang mencintai Allah dan dicintai Allah; radhiyallâhu'anhum wa radhû'anh. Sejarah kepemimpinan Islam, kental dengan perpaduan ini.

Bagi saya, kepemimpinan ke depan harus mendapat dukungan kuat, karena hadits akhir zaman meramalkan; bahwa peta zaman ke depan, semakin carut-marut seiring dengan tantangan zaman. Karena itu dibutuhkan calon pemimpin yang kuat; yang menyatukan berbagai kekuatan dalam masyarakat. Ya kuat ilmu, kuat iman dan kuat amal. Inilah yang disebut oleh ahlus Sunnah dengan syarat solidaritas dalam hadits al-a'immah min quraisy, sebab suku Quraisy adalah suku terkuat dan terbesar di kalangan bangsa 'Arab.

Karena itu lembaga pemilih atau ahlul ikhtiyar/ahlul halli wal'aqdi, menurut saya harus memperketat syarat-syarat calon pemimpin di berbagai tingkat, pertama untuk menyaring kandidat sekaligus membersihkan lembaga pemerintahan, kedua setelah seleksi berjalan, maka persetujuan antara sang kandidat dengan publik pemilihnya, bisa melakukan upaya bai'at atau kontrak politik yang diatur oleh undang-undang. Bai'at diperlukan, jika diperjalanan karir politiknya, sewaktu-waktu dapat dikoreksi, dikontrol, dievaluasi bahkan diganti jika perlu. Ahli-ahli politik Islam seperti Imam Al-Mawardi sudah lama mewacanakan penempuhan pola ini.

Syarat kekuatan, kemahiran dan ke'aliman, menjadi sangat penting. Mengingat usulan emas Nabi Yusuf 'alayhissalam dan pesan Nabi s.a.w terhadap Abu Dzar Al-Ghifari RA. Contoh nyata kriteria ini dapat kita jumpai pada tiga tipologi pemimpin masa lalu, yaitu: Nabi Musa yang qawiyun amin [Qs.28:26] dan Nabi Yusuf yang hafidzun 'alim [Qs.12:55, dan Khalifah Umar bin Khathab yang Nabi sebut sebagai "mubasyirat, al-faruq, dan mu'izzal islam sekaligus penerus jejak nubuwah." Dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir Nabi s.a.w bersabda; law kaana ba'diy nabiyyun lakaana 'umar; andaikan ada Nabi setelahku maka 'Umarlah orangnya. Ketika khalifah 'Umar memerintah selama 10 tahun (13-23 H), jangankan Yahudi, syetan saja takut pada beliau. Di zaman ini banyak orang yang bermental Yahudi dan berhati belis, sebab itu model pemimpin seperti khalifah 'Umar sangat dinanti.

Pada akhirnya saya ingin menyatakan bahwa suatu hal yang mustahil, seorang pemimpin yang tidak mengenali Rabb dapat membawa manusia kepada Allah s.w.t. Mana mungkin seorang pemimpin yang tidak pernah merasakan manisnya penghambaan dan merasai iyyakana'budu wa'iyyakanasta'in dapat menanamkan rasa tersebut di hati rakyatnya. Mana mungkin pemimpin yang hatinya lalai dari mengingat Allah bisa membawa hati warga negaranya untuk mengingat Allah Jalla Jalaluh.

Adalah mustahil pemimpin yang durhaka kepada Allah dapat membentuk manusia lain untuk taat dan patuh kepada Rabb-nya. Pemimpin yang tidak terdidik atau tidak berupaya mendidik dirinya dengan iman dan taqwa, tidak akan berupaya mendidik manusia kepada iman dan taqwa.

Pemimpin yang gagal menundukkan nafsunya pasti gagal untuk membawa manusia lain menundukkan nafsu mereka. Pemimpin yang zalim tidak akan mampu menjadikan rakyatnya berlaku adil. Pemimpin yang bengis, keras, kasar, pemarah, ego dan sombong pasti tidak mampu membawa kasih sayang dan menyatupadukan manusia.

Karena itu, dalam ajaran Islam, syarat-syarat dan ciri-ciri kepemimpinan amat ketat. Tidak sembarang orang boleh dengan mudah mengaku mampu menjadi pemimpin. Lebih-lebih lagi, Islam sangat menolak orang yang hanya semata-mata mau menjadi pemimpin. Persoalan kepemimpinan, bukan soal siapa mau, melainkan siapa yang mampu. Sedangkan yang mampu itu sudah menjadi sunnatullah amat sedikit jumlahnya. Karena pada prinsipnya seorang pemimpin sejati adalah dzillullah "bayang-bayang Allah" di muka bumi yang menjadi jaminan selamat dan menyelamatkan ummat yang dipimpinnya.
K.H.Syuhada Bahri
Ketua Umum
Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia















Tidak ada komentar: