Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Senin, 06 September 2010

MUHASABAH PERGANTIAN TAHUN

Buletin Al-Jazeera, Edisi 02/th.1/2009
“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagianbat kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[231]. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim,” Ali Imran : 140 Ayat ini bagian dari Khutbah Wada Nabi di Padang Arafah 9 Dzulhijjah 10 H.

A. LATAR BELAKANG
a1. Zaman berubah, musim berganti innazzaman kadistadaara. Itulah penggalan khutbah wada Nabi sallallahu alaihi wasallam di hadapan 124.000 jama’ah haji bulan Dzulhijjah taahun 10 H, 89 hari sebelum Rasulullah tutup usia. Saat itu Nabi sallallahu alaihi wasallam mengingatkan para sahabat tentang banyak hal, salah satunya konsep pergantian waktu. Bulan Dzulhijjah sendiri adalah bulan terakhir (ke-12) dalam kalender hijriyah. Jadi Nabi sallallahu alaihi wasallam memasukkan konsep pergantian waktu dalam wasiat perpisahan belian di event akbar saat berhimpunnya seluruh jama’ah haji ditempat paling mulia dimusim haji yakni padang Arafah.
Nabi sallallahu alaihi wasallam mengingatkan, karena waktu tak pernah berhenti berputar, jarum jam terus bergerak, sehingga membuat manusia , tidak lepas dari waktu. Lepas dari waktu mayat namanya. Karena itu kita berpacu dengan waktu; menciptakan perubahan, menyongsong cita peralihan, pertukaran suasana kearah yang lebih baik dan lebih ideal; membuat sejarah baru melalui evaluasi (penilaian) dan rancang bangun (rekonstruksi) masa depan. Itulahmuhasabah (upaya koreksi diri), yang jadi topik diedisi ini.


a.2. Para ahlul ‘ilmi mengatakan muhaasabah min dharuriyah syar’iyah, muhasabah adalah kemestian syari’at, dimana kaum muslimin tidak boleh melewatkannya. Manusia adalah anak waktu, ia tak bisa lepas dari ruang danwaktu. Dari waktu kewaktu, setiap muslim wajib mengevaluasi diri; kebaikan apa yang saya hasilkan hari ini. Bagaimana saya menebus kesalahan, memperbaiki diri, memulihkan nama baik, meraih kejayaan dan seterusnya. Apa penyebabnya ? Karena dalam berlalunya waktu, manusia tidak bisa keluar dari 2 (dua) keadaan; immaa muhsinan wa immaa qaashiran, boleh jadi ia menjadi orang baik dan terpuji atau menjadi orang yang tidak luput dari kekurangan atau kelemahan-kelemahan. “Innal hasanaat yudzhibnas sayyi’aat,” sesungguhnya amal kebaikan itu dapat menghapuskan perbuatan yang buruk. (Surah Hud : 114).
Imam Ibnul ‘Arabi (468-543 H) seorang faqih dari a’immah Malikiyah murid Imam Al-Ghozali (w.505 H) bercerita : “Syeikh-syeikh kami setiap malam sebelum tidur, suka muhasabah. Mereka menyisir catatan harian mereka dari bangun tidur, di hari itu. Maa yatakalluwnahuw (amal apa yang sudah dihasilkan). Semua disisir satu persatu tanpa ada yang terlewatkan. Jika ternyata ada kesalahan dan kealpaan, mereka lalu beristighfar mohon ampun kepada Allah dan berusaha mencari kesempatan untuk memperbaikinya. Jika ada kebajikan dihari itu, mereka bersyukur dan memohon istiqomah di dalamnya. Setelah itu barulah Syeikh-syeikh kami bisa tidur.” (Faidhul Qadir oleh Imam Munawi, juz 5:67. Mesir,1356 H).



a.3. Al-Muhaasabah min dharuuriyah kauniyah. Muhasabah adalah tuntutan kealamian. Manusia anak tradisi, ia punya masa lalu maa salafa min dzunuwbihi, yaitu dosa lampau dimana manusia tidak bisa menghindarinya. Sebab manusia tempatnya kekeliruaan dan kesalahan. Al-insaan mahallu’l khata’ wan nisyaan. Dari penilaian masa lalu ini, manusia bisa merancang potret masa depannya. Fa’aina tazhabuun (hendak kemana ia melangkah).



a.4. Terhadap masa lalunya itu, manusia cenderung “Wanasiya maa qaddamat yadaahu,” melupakan apa yang pernah dikerjakan oleh tangannya (surah Al-Kahfi: 57). Padahal Allah melarang kita untuk melupakan masa lalu, Walaa takuunu kalladziina nasullaaha, jangan seperti orang-orang yang melupakan Allah SWT. Karena siapa yang melupakan Allah , Allah akan melupakan orang itu, nasullaaha fanasiyahum (surah At-Taubah: 67).



a5.Rekaman masa lalu ini dihadapan Allah tidak akan punah atau hilang, yunabba’ul insaanu yaumaidzin bima qaddama wa akh’kharaha. Pada hari itu diberkan kepada manusia apa yang telah dikerjakan dan apa yang dilalaikannya. (Surah Al-Qiyamah:13). Sebab ada malaikat Zabaniyah diwaktu sholat Subuh datang mencatat dan di waktu Asyar naik kelangit untuk melaporkannya ke sisi Allah SWT. Sebagaimana ada Malaikat yang menghimpun catatan manusia setiap hari Senin dan melaporkannya ke sisi Allah pada hari Kamis.

Dalam hal ini Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud Radhiyallaahu anhuma mengatakan :



“Yaitu rekaman masa lalu dari amal perbuatannya, baik yang buruk maupun yang shalih atau rekaman catatan amalnya yang belakangan menjelang tutup usia, dari kebiasaan buruknya maupun kebiasaan baiknya.”


B. WUJUWBUL MUHAASABAH

Dalil Wajibnya Muhaasabah :



1). Dalil Al-Qur’an.

“ Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (Akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Surah Al-Hasyr : 18)

Berkata Imam As-Syingithi :

Ayat yang mulia ini menyuruh kita berada diatas jalan ketaqwaan secara optimal. Perintah meraih taqwa ini di ikuti oleh perintah untuk memikirkan dan merenungkan peristiwa masa lalu serta kejadian akan datang. Dalam penyebutan dua mata rantai masa lalu dan masa depan ini, ketaqwaan menjadi pendampingnya. Ini menunjukkan betapa pentingnya nilai ketaqwaan ini”.

(Tafsir Adhwa’ul Bayan, juz 8 : 195)



2). Dalil Atsar dari Umar bin Khattab r.a :

Dari Tsabit bun Hujjaj ia berkata : Khalifah Umar bin Khattab berkata dalam Khutbahnya: “Hitunglah diri kalian sebelum Allah menghitung diri kalian. Dan timbanglah diri kaliansebelum diri kalian ditimbang oleh Allah. Karena dengan hitungan dan timbangan itu dapat meringankan hisab kalian kelak. Hisablah diri kalian terlebih dahulu. Dan hiasilah diri kalian dalam rangka menghadapi penampakan amal secara besar-besaran,” Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada satupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).”

(Surah Al-Haqqah: 18).

C. JENIS-JENIS MUHASABAH

محاسبة النفس قبل العمل (1

     Evaluasi diri sebelum melakukan amal.

Yaitu dengan merencanakan dan meyakinkan diri akan kebaikan dan kebenaran amal yang akan ia lakukan. Dan dengan Bismillah disertai rasa penuh harap dan tawakkal kepada Allah Jalla Jalaluh, ia melaksanakan perbuatan itu. Berkata Imam Hasan Al-Bashri muridnya Anas bin Malik Radiyallaahu ‘anhu :

“Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berhenti sejenak memikirkan apa yang dicita-citakannya, meskipun bagi Allah ia dipandang kelamaan atau tersalip oleh yang lain.”

2). محاسبة النفس بعد العمل

       Evaluasi diri setelah pelaksanaan amal.

Bentuknya ada tiga :

(a). Evaluasi untuk mengukur kemampuan diri (imkaniyyatut taklif)

(b). Evaluasi untuk memastikan bahwa perbuatan itu lebih baik ia tinggalkan
     (tarkul ‘amal awlaa)
(c). Evaluasi diri dari amal perbuatan yang ibahah; apakah perbuatan itu layak ia teruskan  
      atau ia tinggalkan (tarkuhu malaa ya’nihi). Itulah perencanaan yang matang.

D. TUJUAN EVALUASI

1. Menajamkan semangat dan yang lebih meyakinkan diri dalam berbuat (tajdidunniyah)

2. Menghindari kejenuhan dan rasa malas (Ijtihadul amal)

3. Mencegah timbulnya tindakan kesemberonoan dalam mengambil langkah/kebijakan  
    terhadap amalan harian (imtina’u at-taqshir fi amalil yaumi walllailah)
4. Supaya tidak terjebak pada tindakan; futur (panas-panas tahi ayam) ghurur (tertipu) dan 
    lahwun (kesia-siaan).
5. Supaya dia sempurna dan optimal dalam melaksanakan tugas dan pengabdian
    (li’itmaamil-‘amal al-ubudiyah).
E. PENUTUP

Sebentar lagi, ummat ,manusia akan memasuki pergantian tahun. Dimana dunia internasional seperti siaran langsung televisi hiruk pikuk menyambut tahun baru masehi, tahun baru orang Romawi yang sarat dengan nilai-nilai jahiliyah dan kemusyrikan. Pesta pora digelar dari gedung bertingkat hingga kepimggir jalan. Dunia sorak-sorai pakai terompet, musik dan bunyi-bunyian yang mengundang syahwat.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan tokoh-tokoh Islam sudahlama menngeluarkan Surat Himbauan, bahwa merayakan tahun baru Miladi ini tiada lain adalah tindakan pemborosan dan luapan hura-hura yang tidak jarang menelan korban dan mengundang bencana. Tahun baru tiada lain adalah maksiat itu sendiri. Industri hiburanadalah pihak yang bertanggung jawab terhadap rusaknya moral anak bangsa saat memasuku tahun baru.
Lima tahun lalu, bangsa Indonesia ditegur oleh Allah melalui Tsunami Acah sehari setelah Natal Tahun 2004. Duania Islam menyebut Tsunami aceh adalah Tsunami Hari Natal atau Crismast Tsunami karena berselang sehari setelah perayaan Natal sekali di Serambi Mekkkah. Tsunami yang diawali oleh gempa bumi berkekuatan 9,0 skala richter yang imbasnya dirasakan sampai Makaysia, Thailand, Myanmar, Bangladesh, India, Sri langka, bahkan sampai kenegara Afrika Timur seperti Somalia, Tanzania dan Kenya. Na’udzu billahit billahi Mindzaalik.
Abu Taujieh Robbanie, Kemayoran Jakarta

Tidak ada komentar: