Buletin Al-Jazeera dibagi secara cuma-cuma ke Masjid-masjid di Kepulauan Sapeken, Kangean, Bali, Kupang, Batam dan Jakarta dalam rangka program pencerdasan ummat. Infaq dan sedekah anda sangat membantu kelangsungan buletin dakwah ini. Salurkan bantuan anda ke Bank Mandiri Cabang Jakarta Kramat Raya no.rek: 1230005638491 an: Khairiyah (0813-1132.7517)

Selasa, 01 Februari 2011

MENATA KEPUASAN HATI

Buletin Al-Jazeera, edisi 10/th.2/2010


أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ.(رواه البخاري ومسلم)
 “Ingatlah dalam badan ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah semua badannya, jika ia rusak, maka rusaklah semua badannya. Ingatlah dia adalah hati.” (Shahih Bukhari [52,312,]; Shahih Muslim [1599])

            Kepuasan hidup kadang tak ubahnya seperti meminum air manis di saat terik, semakin banyak direguk maka kian bertambah rasa haus. Hingga akhirnya, seseorang tidak lagi sadar kalau seisi ruang perutnya cuma berisi air. Lemas, tanpa daya.
            Hampir tak seorang pun yang acuh tak acuh dengan yang namanya kepuasan. Semua orang nyaris ingin hidup tercukupi, bahkan berlebih. Saat itulah seolah senyum menjadi mudah mengembang. Pikiran terbang lepas. Henti tenang tanpa was-was.
            Namun, seperti itukah kenyataan hidup yang sebenarnya? Ternyata tidak sepenuhnya benar. Sebagian orang-orang besar justru merasa paling gelisah ketika berada dipuncak kejayaan. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang depresi, stres, dan tertekan beban hidup.
            Mungkin, apa yang dialami seorang pelawak kawakan seperti Rowan Atkinson bisa menjadi contoh. Siapa yang tak kenal Atkinson alias Mr. Bean, pelawak asal Inggris yang kini terjun di dunia aktor ini pun akhirnya dirawat di klinik pengidap depresi “Cottonwood De Tucson" di Arizona, Amerika. Ia depresi lantaran film terakhirnya “Johnny English” dinilai jeblok di pasaran. Padahal, di negerinya sendiri film komedi mata-mata itu tergolong lima besar. Kini, Atkinson, lebih rela tinggal di klinik depresi walau mesti bayar enam ribu dolar Amerika seminggu demi menebus kegelisahannya sendiri.
            Jadi, tidak selamanya sebuah kemegahan, kemasyhuran, dan kekayaan seseorang serta merta memberikan kepuasaan lahir dan batin. Justru pada puncak tangga kemasyhuran itulah badai kekhawatiran kian besar. Ia pun terhuyung dipermainkan kegelisahan dirinya sendiri. Takut kalau-kalau ia jatuh, takut kalau semua yang ia miliki hilang dan lepas dari tangannya. Padahal semua yang dimiliki di dunia merupakan cobaan dan ujian yang Allah berikan bagi hamba-Nya sebagai sebuah proses seleksi untuk menuju tingkatan yang lebih baik di hadapan  Allah SWT.
Rasulullah SAW pernah bersabda :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً، وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ. (حديث حسن رواه الترمذي )              
 “Tiap umat mempunyai cobaan dan ujian sendiri-sendiri dan fitnah cobaan umatku adalah kekayaan harta.” (HR. Tirmidzi, sanadnya hasan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Shahih Targhib no.:3253; As Shahihah Syeikh Albani no.:592)
           
Kalau sedang berjaya saja manusia gelisah, apalagi ketika miskin. Ia merupakan potret lain dari sisi ketidakpuasan yang selalu bercokol. Bayang-bayang obsesi kaya, terkenal, kian merasuk dalam jiwa. Orang pun menjadi buta, tidak lagi membedakan mana yang boleh dan tidak boleh, terjebak di tengah fitnah syubhat dan syahwat yang melanda hati manusia. Semua seperti tanpa pagar, tanpa batas.
            Rasulullah SAW pernah menasehati umatnya untuk berhati-hati dengan kefakiran. Karena boleh jadi, kefakiran bisa membawa orang kepada kekufuran. Boleh jadi, orang yang terjebak dengan kemiskinan mulai menghujat takdir. Menghujat keputusan Allah yang adil dan bijaksana.
            Ia seolah begitu sulit menerima kenyataan, selalu membanding-bandingkan antara nikmat Allah yang ia terima dengan nikmat orang lain. Dan bandingan itu kerap jatuh pada ketidakpuasan. Saat itulah seseorang menghina pemberian Allah SWT. Ia tidak lagi mampu menelusuri mutu kedalaman sebuah anugerah, tidak lagi mampu menguak hikmah yang Allah sandingkan dari setiap kenyataan hidup manusia.
            Mungkin, seperti itulah sifat dasar manusia. Selalu berkeluh kesah. Dalam keadaan apapun : susah maupun senang. Seperti yang Allah gambarkan dalam Firman-Nya :

 “Serta mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia Amat kikir.” (QS. Al-Ma’arij : 19-21)

Keluh kesah sebagai ungkapan tidak puas dengan kikir, mirip dengan dua sisi uang logam, selalu berdampingan. Ketika ketidakpuasan hampir terkurangi dengan limpahan rezeki yang terus mengalir, disitulah hadir kikir dan sombong, saat itu menjadi lupa dengan keadaan sebelumnya. Seperti tidak ada toleransi sedikit pun dengan berkurangnya rezeki yang ia milki. Ketika miskin orang didera ketidakpuasan, ketika kaya dan jaya menjadi kikir, sombong dan dipermainkan kekhawatiran bangkrut dan jatuh.
            Seorang mukmin semestinya tidak berada dalam posisi merugikan itu, filter imannya bisa memisah mana ketidakpuasan dan kekikiran. Baginya, rezeki dan nikmat yang Allah anugerahkan tak ubahnya seperti sepatu, hanya sekedar alat, kapan akan ia pakai dan kapan ia lepas. Kalaupun sepatu hilang, masih ada alat lain yang bisa menjadi pengganti. Tak perlu harus memburu kepuasan hingga lupa syukur. Dan, tak pernah dipermainkan kekikiran karena semuanya, toh, akan ditinggalkan. Buat selamanya.
            Allah SWt mencirikan sifat mukmin itu dalam Firman-Nya :


“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan : 67)

Langkah yang tepat bagi seorang mukmin menyikapi dua masalah yang berbeda antara kejayaan dan kefakiran adalah ketika rezeki yang terima sedikit sikap yang tepat hanyalah bersabar dengan karunia tersebut, dan ketika rezeki yang didapat banyak maka dia harus bersyukur atas nikmat itu, karena kesemuanya merupakan anugerah yang Allah berikan untuk hamba-Nya.
Ada peristiwa menarik di masa kehidupan Baginda Rasulullah SAW, ketika beliau menikahkan puteri tercintanya, Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib, beliau mengundang Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Usamah untuk membawakan persiapan Fatimah.
            Para sahabat pilihan itu bertanya-tanya, apa gerangan yang dipersiapkan Rasulullah untuk puteri terkasih dan keponakan tersayangnya itu? Ternyata, bekalnya cuma penggilingan gandum, kulit binatang yang disamak, kendil, dan sebuah piring.
            Mengetahui hal itu, Abu Bakar menangis.”Ya Rasulullah. Inikah persiapan untuk Fatimah?” tanya Abu Bakar seraya menitikkan air mata. Cuma inikah harta yang paling berharga yang dimilki seorang pemimpin  dunia untuk dihadiahkan kepada puterinya. Nabi Muhammad pun menenangkannya, “Wahai Abu Bakar. Ini sudah cukup bagi orang yang berada di dunia.”
            Fatimah, sang pengantin itu, kemudian keluar rumah dengan memakai pakaian yang cukup bagus, tapi ada dua belas tambalan. Tak ada perhiasan, apalagi pernak-pernik mahal.
            Hidup memang dalam rangka pencarian kepuasan. Tapi, bukan kepuasan menggapai dunia dan isinya. Ada kepuasan lain yang jauh lebih berharga: kepuasan ketika tetap berada dalam jalan Allah. Ketika itulah, Allah ridha dengan orang-orang seperti itu dan, mereka pun ridha kepada Allah SWT. Semoga kita termasuk orang yang mendapat keridhaan Allah SWT dan Allah pun ridha terhadap kita. Amin.

Wallahu A’lam Bisshawab
Maulfy Tsanaullah, S.SosI





Tidak ada komentar: